Selasa, 13 Juli 2010

LAPORAN PERJALANAN

MERAJUT KEBERSAMAAN DALAM KEMAJEMUKAN


Panggilan Tugas perjalanan jelajah pulau terluar yang menyeretku ke Sulawesi Tengah, kutinggalkan Jakarta yang tidak pernah tidur dengan berbagai problemantika kehidupan. Diperut pesawat aku terbang kedaerah yang belum kutahu ada apa disana.



Hampir tiga jam waktu penerbanganku dari Jakarta yang membawa ketempat yang asing belum kuketahui tentang apa dan bagaimanan dalam tugasku nanti. Di bandar Mutiara sebagai pintu masuk ke bumi Tadulako aku melangkah memulai karirku di Sulwesi Tengah.

Peradaban kehidupan masyarakat setempat sekitar kota Palu, Selawesi Tengah, walaupun aku hanya semalam sedikitnya dapat mengutip kondisi ibu Kota Propinsi Sulteng tersebut. Kehidupan malam dipantai Talise diramaikan penjual pisang goreng dan saraba yang disertai kue lainnya yang dinikmati pengunjung dikursi-kursi plastik sengaja dijajar menghadap teluk Palu. Dapat kukatakan sentral kehidupan malam di Palu berada di Pantai penghibur Talise. Dibalik itu, Kota Palu atau disebut kota Kaledo, berdiri pusat pendidikan Agama Al-khairat yang memiliki pengaruhnya dibelahan timur Indonesia . Yayasan Al Khairaat Yang diketuai oleh KH Sagab Aljufri, MA atau disapa habib Sagaf penerus perjuangan Uztad Tua tokoh agama dari hadramaut yang mengabdikan dirinya di Sulawesi Tengah higga akhir hayatnya.

Selain capek aku harus cepat tidur, mengingat besok akan melakukan perjalan panjang sekitar empat ratusan kilometer kebangian timur Sulawesi Tengah. Pagi hari Bus rental yang aku tumpangi mulai meluncur kearah timur dengan kecepatan 70 hingga 90 km perjam melewati jalan yang tidak selebar dikota metropolitan jakarta atau kota besar lainnya.

Sekitar empat puluan kilometer mobil melewati kebun Kopi. Konon, ceritera dari penumpang disisiku, tempat itu banyak disingahi mobil penumpang, sekedar membeli sayur Wortel, dan sayur lainnya untuk dibawah pulang kerumah ataupun sekedar ole-oleh kepada tetangga.

Beberapa tahun yang lalu masih menurut teman sebangku, Kebun Kopi masih alami, udara masih sangat dingin, kendati siang hari. Tetapi saat saat ini, entah pemanasan global, atau terjadi lubang dilapisan ozon yang ikut memperngaruhi Kebun Kopi tidak lagi sesejuk dulu lagi. Aku biarkan cerita itu sambil lalu karena mataku mulai tertutup karena dikuasai rasa ngantuk karena goyangan mobil.

Memasuki jantung kota Parigi Mountong (Parimo), Mobil mobil rental yang aku tumpangi, mampir dirumah makan yang berada dijalur Trans Sulawesi. Para penumpang termasuk aku memesan makan siang sebelum lanjut Ke Poso yang akan ditempuh tiga jam perjalanan.

Saat aku makan siang, pikiranku kembali mengingat-ngigat lagi berita-berita panas Poso diberbagai media cetak atau elektronik saat kerusuhan melanda daerah tersebut. Kota eboni sebutan Poso yang tadinya sangat tentram, kemudian dicabik-cabik bencana sosial. Kota Poso berubah menjadi merah, memerah karena tumpahan darah dan bara api yang membakar pemukiman masyarakat baik kelompok putih maupun merah. Dan itu berlangsung secara berjilid. Disana banyak keluarga kehilangan harta dan sanak keluarganya. Panasnya Poso ibarat sepanas api dendam kusumat akibat pertikaian yang berakibat fatal bagi sendi kehidupan, terlebih sendi ekonomi lumpuh total yang semakin mempertajam ketidak percayaan antar sesama. Krisis kepercayaan antara umat dan antar masyarakat punah hanya karena ulah provokator. Padahal, Poso adalah daerah yang sangat strategis karena menjadi sentral Sulawesi. Dimana kelumpuhan kabupaten Poso memberi imbas yang cukup berarti bagi daerah lain. Akses transportasi lumpuh Total, baik dari Luwuk – Ampana - Palu dan Makasar atau arah sebaliknya yang semua melintasi Poso.

Aku tersentak setelah bunyi klason mobil yang kutumpangi berbunyi, pertanda mobil akan meneruskan lagi route perjalanan. Kuteguk sisa air aqua botol namun batinku masih penasaran, “ seperti apa Poso yang akan kulewati nanti ?”

Poso, kini mampu merajut kebersamaan dalam kemajemukan.Memasuki perbatasan, tepatnya didesa Kalora, disamping kanan jalan, berdiri Pos polisi menurut cerita penumpang disampingku. Pada saat Poso bergolak, antrian mobil cukup panjang menanti pemeriksaan petugas terhadap penumpang di Pos tersebut. pemeriksaan cukup ketat, untuk mengatisipasi masuknya senjata ilegal kedaerah yang sedang dilanda bencana sosial.

Namun perjalanan perdanaku saat melintas poso menjawab kondisi sebenarnya saat ini. Sebuah kenyataan memberi penjelasan yang akurat seperti apa poso saat ini. Aktifitas kehidupan masyarakat yang kulewati normal seakan tidak pernah terjadi peristiwa besar yang merusak tatanan kehidupan masyarakat, sejak perbatasan Kabupaten Parigi Mautong dengan Poso. Infrastruktur sudah ditata kembali. Satu dua puing rumah bekas terbakar masih terlihat, tetapi sudah ditumbuhi rumput liar, karena pemiliknya membiarkannya.

Ketika memasuki jantung kota Poso, kondisi kehidupan semakin hidup. Pasar Sentral yang berada dilintasan jalan Trans Sulawesi diramaikan aktifitas jual beli masyarakat. Di SPBU dekat pasar tersebut beberapa penjaja makan seperti jagung rebus dan kacang goreng seakan menampal kehidupan suram Kota Poso beberapa tahun silam, aktifitas kehidupan semakin bersemangat dan berusaha melupakan masa lalu yang kelabu.

Di Jembatan dua Poso terlihat Pos penjagaan yang biasa-biasa saja sampai tiba di desa Togolu persimpangan jalan ke Tentena - Makasar dan dan Jurusan Ampana – Bunta – Luwuk. Mobil yang kutumpangi mulai meliuk mengikuti jalur jalan yang berliku-liku dan kontur jalan naik turun sepanjang duapuluan kilometer. Mobil tumpanganku memasuki desa Tombiano, perbatasan Kabupaten Poso dengan Tojo Unauna. Infrastruktur banyak terbangun yang oleh dana keserasian yang dikucurkan pemerintah pusat. Didesa Podi yang menurut ceritra teman sebangku, desa tersebut pernah dilanda banjir bandang yang membuat jembatan rangka baja ikut hanyut. Yang kemudian ditanggulangi dengan jembatan Bally agar akses tranportasi darat tidak terhambat. Lepas dari jembatan Podi, mobil membelah jalan yang berpasir dan sedikit becek. Kalau banjir besar jalur itu sulit dilalui, kalau mau memaksa, harus mengelurkan dana ektra untuk membayar masyarakat setempat untuk mengarahkan jalur mobil agar tidak terjebak ditengah air.

Perjalanan yang cukup pajang dan melelahkan akhirnya tertunda sebentar ketika mobil kembali keluar dari jalur jalan Trans Sulawesi. “kita mampir makan dulu, yang mau ngopi silakan” Ujar Sopir. Beberapa restoran dan rumah makan dibangun dibibir laut yang cukup terjal. Memberi nuansa kesegaran adanya hembusan angin dibelakang bangunan yang dibiarkan terbuka. Banyak penumpang berdiri dibagian itu sekedar menikmati panorama laut biru Padapu.

Aku mengikuti penumpang lain untuk memilih jenis ikan sebagai santapan. Banyak ikan segar, aku mendecak kagum, kalau di Jakarta sulit kutemukan jenis ikan yang tergolong mahal disana. Tidak sampai Rp. 50 ribu yang aku keluarkan dimeja kasir untuk membayar makan dan secangkir Kopi.

Mobil kembali meluncur kearah timur lagi. Memasuki Ibu Kota kecamatan Ulubongka, tepatnya didesa Marowo, aktifitas penduduk sedikit ada, dibanding beberapa kilometer pesisir pantai yang aku lalui hanya terdapat beberapa rumah saja.

Lepas dari ibu kota kecamatan Ulubongka, kembali mobil mulai meliuk mengikuti alur Gunung sebelum memasuki Pintu masuk Ampana sebagai Ibu Kota Kabupaten Tojo Unauna.


Aktifitas kehidupan mulai ramai terlihat menjelang petang hari. Rumah-rumah permanen mulai padat. Tepat pukul 5.30 mobil tumpangan mengantar aku ke Hotel Oasis. Salah satu Hotel yang cukup baik di Ampana. Kota Ampana atau disebut Kota Sivia Pautuju dimalam hari sedikit ramai, kehidupan malam terlihat hanya sekitar dua puluh meter dari Hotel Oasis, tenda-tenda penjual pisang goreng dan saraba buka hingga pukul 24.00 wita.


Meskipun Ampana tidak seramai Palu, tetapi aku dapat merasakan ritual agama yang didominasi Islam sangat terasa. Dini hari menjelang subuh dari kejauhan terdengar pengajian dan azan berkumandang dari mikrofon.

Kedamaian alam sangat terasa di Ampana, semakin memancing aku ingin masuk lebih dalam pada sendi kehidupan masyarakat yang hetrogen. Beberapa etnis hidup aman berdampingan. Baik penduduk asli, Bae’e, Taa, Bugis, Kaili, Gorontalo dan beberapa suku lainnya. Hal ini semakin terasa ketika aku melangkahkan kaki kebelakang Hotel, akftitas jula beli di Pasar sentral Ampana berjalan baik, sebagai pendatang baru aku merasa asing ditempat ini.

Beberapa refrensi yang aku dapatkan di Hotel, Kota Ampana pernah sukses dalam menyelenggarakan MTQ tingkat propinsi diarena perkantoran Baru kabupaten. Pada saat itu Gubernur HB Paliudju memberi nama kawasan perkantoran sebagai kota Mas, yakni masyarakat aman sejetera. Ujar Sang Jendral bintang satu dalam sambutan pembukaan MTQ tersebut.

Dipusat Kota Ampana, Kendaraan tradisional bendi mudah diketemukan. Kendaraan semacam ini, kalau dijawa disebut delman atau sado. Dalam nyanyian zaman kuda gigit besi, itulah keberadaan kereta kuda yang pernah kucoba menaikinya. Selain itu kenderaan arternatif mudah diketemukan, jauh dekat Rp. Tiga ribu rupiah. Konon kendaraan ojek mengusur kehadiran becak maupun bentor (becak ditarik motor,red). Namun kenderaan Bendi tetap dipertahankan sebagai sarana penunjang sektor parawisata yang menjadi salah primadona program unggulan kabupaten Tojo Unauna selain sektor perikanan maupun pertambangan. Konon bahan tambang cukup banyak senatero Tojo Unauna, seperti ladang minyak bumi dikepulauan Togean berdasarkan hasil pemotretan udara beberapa tahun yang lalu.

Di Hotel Oasis aku banyak memperoleh pengetahuan tentang daerah tujuan wisata yang sudah dikenal dunia, yakni kepulauan Togean. Beberapa pemerhati parawisata sering menyebut kawasan tersebut sepotong sorga dari langit. Menurut ceritera petugas hotel kepulauan Togean adalah sorga bagi turis manca negara yang mengandrungi wisata bahari.

Sebagai pencinta keindahan, aku semakin terpancing untuk berkunjung kesana untuk membuktikan keindahan kepulauan Togean yang juga disebut hidden paradise. Untuk menyaksikan terumbu karang dipusat karang dunia tersebut. Pelaku industri parawisata di kawasan Togean yang juga diprogramkan taman nasional kepulauan Togean (TNKT) yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Disana tidak saja pengusaha lokal, tetapi pengusaha asing melakukan kegiatan parawisata. Seperti Mr. Lukas kebangsaan Itali yang membuka cotetages dan menyiapkan fasiltas penyelaman dengan tarif nginap 100 dolar US perhari diluar harga menu tambahan yang dipesan. Selain itu, Mr Selvi warga Amerika yang mengku sudah menjadi WNI menjalankan usaha parawisata di desa Bomba, kecamatan Unauna dimasa kolonial disebut pulau ringgit. Pengusaha lokal, seperti suami isteri Edy dan Huntje pemilik hotel Oasis membuka usaha parawisata di Pulau kadidiri, berdampingan dengan Cotteage Black Marlin milik Bahrun. Satu kesimpulan keindahan kawasan kepulauan Togean kuakui sangat asri dan memiliki estetika tinggi ciptaan sang pencipta.

Kehidupan di Ampana makin memancing keingintahuanku tentang kondisi kehidupan masyarakat yang terkesan tentram. Seharusnya saat ini didaerah ini konstalasi politik sudah makin memanas menjelang Pilkada. Namun yang kudapati pemilukada 2010 belum berpengaruh banyak pada stabilitas kamtibmas di Tojo Unauna. Apakah hal ini disebabkan karena kedewasaan masyarakat dalam menyikapi politik. Ataukah konsentrasi masyarakat terfokus pada kebutuhan ekonomi. Stabilitas kamtibmas kudapatkan juga didesa Mire yang berada dihulu sungai Bongka, maupun dataran Bulan dikecamatan Ampana Tete. Didataran bulan masih tetap kondusif padahal menurut keterangan sejumlah sumber, kawasan tersebut kadang terisolir hingga berminggu-minggu karena putusnya sarana transportasi. Padahal kawasan tersebut dihuni sekitar lima ribuan masyarakat eks transmigrasi yang berasal dari daerah berbeda, seperti jawa, bali, NTT, NTB dan penduduk lokal. Kehidupan hetrogen yang homogenis semakin mengagumkan aku menyaksikan dan merasakan peradaban kehidupan masyarakat Tojo Una-una yang mampu merajut kebersamaan. Mereka mampu mendelete sekat-sekat yang dapat memicu perselisihan dan terputusnya hubungan silahturrahim. Semua berpulang pada masyarakat mampukah kondisi tersebut dipertahankan, kuncinya jangan terpancing isu yang berbau provokatif (R – 113).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar