Minggu, 30 Mei 2010

PULAU MARORE WILAYAH TERDEPAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

(S – M) - Marore merupakan sebuah Pulau kecil yang berada paling terdepan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Philipina. Pulau Marore, termasuk di dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabuka Utara, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Pulau yang terdiri atas Kp. Marore, anak kampung Pulau Matutuang dan Pulau Mamanuk.

Secara geografis dan Politis, Marore sangatlah strategis dan unik. Dibilang strategis, karena Pulau Marore ini merupakan terdepan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Letak Pulau yang membujur dari Barat Daya. kearah Timur laut dengan luas sekitar 2,5 hektare persegi ini, umumnya terdiri daerah perbukitan dan bukan pulau karang. Perbukitannya bergelombang dengan ketinggian antara Nol meter dari permukaan laut sampai dengan 110 dari permukaan laut. Daerah perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga, jambu mede, rumpun bambu dan lain sebagainya. MayoritasTambah Gambar penduduknya mendiami di Bagian pantai sebelah barat daya dan minoritas di pantai timur.

Pulau Marore didiami oleh suku Sangir . Jumlah penduduk Kampung Marore menurut data tahun 2006 berjumlah 562 jiwa yang terdiri atas 135 kepala keluarga. Sementara penduduk Pulau Matutuang anak kampung Marore sejumlah 300 jiwa. Sedangkan Pulau Mamanuk yang luasnya sekitar delapan hektare yang juga termasuk Kampung Marore tidak perpenghuni. Penduduk Marore pada umumnya beragama Kristen Protestan

Penduduk Marore dapat digolongkan miskin. Hal ini terlihat pada 50% atau 60 kepala keluarga masih mendapatkan suatu bantuan tunjangan uang miskin. Mata pencaharian penduduk Marore sebagai nelayan dan petani. Adapun hasi dari pertanian berupa, kelapa yang diolah untuk dijadikan kopra. Adapun penjualan kopra dilakukan di Tahuna.

Mata pencaharian lain sebagai nelayan penangkap ikan laut. Ikan laut hasil tangkapannya dijual melalui pedagang yang datang dari Philipina. Ikan tersebut dibawa ke tempat pengalengan ikan terbesar di General Santos City, Pulau Mindanao, Philipina. Penangkapan ikan hanya dapat dilakukan pada musim teduh atau jika ada pesanan pembeli dari Philipina. Jika tidak ada pesanan atau pembeli dari Philipina, ikan hasil tangkapan tersebut hanya umtuk kosumsi sendiri.

Penduduk yang mendiami di Pulau Marore juga melakukan perdagangan dengan penduduk Marore yang bertinggal di Philipina. Adapun barang – barang yang dibeli dari Philipina seperti beras, minuman, alat rumah tangga dan kebutuhan lainnya. Adapun sistim pembayarannya, dibayar dengan matau uang rupiah dan ada kalanya dengan barter atau dibayar dengan mata uang Philipina, Peso.

Bila dilihat secara dekat, sarana prasarana yang ada di Pulau Marore seperti, kantor kampung, kator Camat, kantor Border Crossing Phillipina, Kantor Syahbandar, Bea Cukai, imigrasi dan Pos AL, Koramil dan Kepolisian. Fasilitas lainnya yang ada, seperti, Gereja, Puskesmas, Sekolah Dasar, SMP dan SMA. Untuk fasilitas penerangan, Listrik dari PLN yang hidup selama 12 jam, pada malam hari.

Sedangkan prasarana tranportasi, Jalan, di pemungkiman barat di tengah kampung dengan kelebaran 3,5 meter, jalan lingkungan dengan lebar jalan 2,5 meter dan jalan penghubung dari pemungkiman barat ke pemungkiman timur mempunyai kelebaran sekitar 2 meter. Bahan jalan dari beton cor. Kondisi jalan penghubung antar pemungkiman ini sering rusak yang dikarenakan tergerus oleh arus ombak.

Marore Pintu Gerbangnya Indonesia

Ketrpencilan Pulau ini dapat dillihat dari tiga lautan yang mengelilinginya, seperti laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Samudera Pasifik. Pulau Marore dikatakan sebagai pintu gerbang, karena jarak antara pulau Balut sebagai pulau terdepan dari wilayah Philipina saling berdekatan. Kalau dihitung jaraknya, sedikitnya 7 Km dari Pulau Marore ke Pulau Balut atau setara dengan jarak antara Jakarta – Kawasan Puncak, Bogor.

Jika kondisi laut tenang, jarak tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan kapal Fuso selama empat jam perjalanan. Namun jika laut sedang tidak bersahabat, perjalanan tersebut bisa jauh lebih lama.

Kondisi laut antara pulau Marore dengan pulau milik tetangga ini sangat spektakuler. Kedalaman terjauhnya sekitar 16 Km. Namun sangat disayangkan, banyak potensi didalamnya belum tercatatnya.

Pulau Marore yang terisolir memiliki keberuntungan tersendiri layaknya seperti pulau pulau terdepan lainnya. Memiliki keindahan panoramanya, udaranya belum terpolusi dan mendapat sinar matahari dari siang hingga sore. Pulau dengan titik tengah yang terletak di koordinat 4 derajat 44’ 9,6” Lintang Utara dan 125 derajat 29’ 2,5” Bujur Timur ini memiliki lingkungan yang masih asri dan kekayaan alam yang masih perawan.

Keasrian dan keperawanan dari pulau seperti ini perlu penjagaan serta pelestarian dari semua insan yang memilikinya. Dapat dibayangkan, kesulitan penduduk setempat yang hanya memiliki tiga lokasi sumber air bersih yang kini menghidupi mereka dapat terganggu dengan adanya pengerusakan alam sekitar oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Hal ini akan menjadi beban penderitaan penduduk setempat.

Wisata Bahari Tergolong Lengkap

Selain ada hutan perawan yang berada di perbukitan, pulau tersebut juga menjadi lahan subur bagi tanaman kelapa, jeruk, nanas dan lain lalin. Selain itu, penduduk setempat juga membudidayakan tanaman singkong. Singkong merupakan salah satu makanan utama mereka.

Sementara itu, dibagian pantai terdapat hamparan pasir putih yang penuh keindahan. Di Pulau Marore, bagi pelancong bahari akan merasakan kelengkapan pesona karena mempunyai pasir putih, laut yang bersih dan matahari yang selalu bersinar.

Terlebih lagi perairan y6ang dangkal di Marore dihiasi dengan aneka jenis terumbu karang. Survei telah membuktikan, terumbu karangnya tergolong dalam katagori antara sedang dan baik. Ragam pesona dari kehidupan berbagai jenis ikan karang nan elok menjadikan perairan Marore menambah daya pikat yang elok. Dilihat dari sumber daya manusia, Pulau Marore tergolong lumayan baik dengan adanya sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas. Selain itu, demi keamnan berlayar, di pantai juga telah tersedia mercuar

Kondisi seperti diatas menjadikan sebuah renungan kita semua. Pertanyaannya sekarang, Akankah Marore kelak yang menjadi pulau terdepan negara kesatuan republik Indonesia ini akan menjadi seonggok daratan paling depan yang mampu mendatangkan nilai tambah tinggi bagi penjaganya (Penduduk).

Pemburu ikan Hiu yang Ulung

Nasib kehidupan sebagai nelayan di Marore sangat berbeda dengan nasib kehidupan nelayan –nelayan yang ada di pantai utara Jawa atau kawasan lainnya. Mereka dalam setahun hanya bisa melaut sekitar empat hingga lima bulan atau pada bulan Mei, Juni, Juli, Nopember dan bulan Desember. Pada bulan bulan lainnya cuaca tidak mendukung yang diakibatkan dari pengaruh badai Phillipina. Dan sedikitnya dua kali terjadi badai dalam setahun.

Dengan kondisi demikian, penduduk Marore masih mengatakan beruntung karena daerahnya telah dikaruniai kekayaan yang berlimpah. Di dalam laut, beraneka ragam jenis ikan bernilai ekonomis siap diburu. Ikan ikan tersebut seperti, Hiu, Cakalang, Layar, tuna dan kerapu.

Disamping itu, ikan ikan semacam itu juga dapat dijadikan sebuah hiburan tersendiri bagi pelancong yang gemar olah raga memancing. Sedangkan pelancong yang belum lihai memancing, dapat belajar dengan masyarakat Marore.

Dengan modal peralatan sederhana, nelayan Marore sangat ulung dalam menangkap ikan tersebut . Keulungan ini merupakan hasil turun temurun dari nenek moyang mereka. Dalam memburu ikan hiu, mereka menggunakan rawai, pancing ulur dan senjata panah.

Dari sekian keluarga nelayan, sebagai besar sebagai pemburu ikan hiu. Dan sebagian kecil nelayan di sana dalam memburu ikan selain hiu menggunakan jaring. Jadi, jangan merasa heran apabila anda disana jarang menemukan jaring.

Nelayan Marore sangat alami dan sangat ulung dalam berburu ikan hiu. Terlebih perahu yang digunakan dalam berburu adalah pumpboat atau sejenis perahu kecil yang bersayapkan bambu.

Kalau diamati secara mendalam, ukuran perahu yang digunakan sangat kecil, dengan panjangnya sekitar sepuluh meter dan mempunyai kelebaran sekitar satu meter. Kalau kita bandingkan dengan nelayan nelayan yang berada di kawasan lain, hiu-hiu diburu dengan menggunakan kapal-kapal berukuran jauh lebih besar. Penduduk setempat menggunakan perahu kecil mempunyai alasan tersendiri, karena kebiasaan melaut pada waktu subuh dan kembali sore harinya dan jelajah tangkapnya hanya sekitar 15 mil laut atau di sekitar Pulau sekelilingnya seperti Pulau Mamanuk dan Pulau Matatuang.

Dengan keulungan nelayan Marore, perlu menjadi sebuah cermin kehidupan masyarakat nelayan pesisir lainnya. Sedangkan untuk meningkatkan taraf hidup mayarakat nelayan di Marore, pemerintah setempat atau pemerintah pusat segera memodernisasi peralatan nelayan tersebut. Selain itu, Pulau Marore sebagai pintu gerbang masuk wilayah Indonesia yang secara politis sangat strategis, sehingga pemerintah dan masyarakat secara sinergis untuk menjaga pulau tersebut sebagai wilayah Indonesia.

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan ke depan terhadap Pulau terdepan yang bersifat sangat strategis ditinjau dari politis, dan pertahanan keamanan perlu dilakukan sebuah wujud pembangunan yang sesuai dengan budaya kehidupan setempat. Selain itu, aparatur negara keamanan dan pertahanan selain menjaga keamanan harus diperankan dalam menjaga kelestarian alam sekitarnya di pulau terdepan.

Rabu, 26 Mei 2010

DANAU POSO, SEBUAH EKSOTIKA KEINDAHAN INDONESIA

Mungkin kita semua masih ingat peristiwa berdarah yang dikenal dengan Konflik Poso, beberapa tahun yang silam. Pasca kerusuhan Poso, daerah ini seolah menjadi momok ketakutan bagi setiap orang yang akan melintas di Poso. Bumi Sintuvu Maroso, demikian julukan Kota Poso, seakan menjadi kota mati yang tak bergairah. Padahal daerah ini banyak menyimpan pesona keindahan berbagai obyek wisatanya. Sebut saja misalnya, ada Air Terjun Sulewana yang sekarang telah dibangun menjadi pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air dimana suplay daya listriknya dapat memenuhi kebutuhan listrik wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Selain itu ada Goa Latea, yang menyimpan berbagai misteri tapak-tapak sejarah peninggalan purbakala di Tanah Poso, dan masih banyak lagi obyek wisata menarik lainnya.

Salah satu obyek wisata yang menjadi icon Poso dan sudah terkenal hingga ke mancanegara adalah Danau Poso. Danau Poso terletak di kota Tentena Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah, pada posisi strategis lintasan perjalanan Trans Sulawesi antara Toraja, Poso, Gorontalo dan Manado. Posisi ini membuat Danau Poso selalu disinggahi wisatawan. Danau Poso dapat dicapai dengan perjalanan darat 57 kilometer dari kota Poso atau 283 kilometer dari kota Palu. Luasnya bisa mencapai ± 32.000 hektar yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 32 kilometer dengan lebar 16 kilometer dan kedalaman mencapai 510 meter. Danau yang berada pada ketinggian 657 meter pada permukaan laut ini, memiliki keunikan karena berpasir putih dan kuning keemasan serta bergelombang seperti air laut. Panorama alam di sekeliling danau sangat indah. Perbukitan dan hutan di sekitarnya berdiri tegar memagari danau. Udara yang sejuk membawa kesegaran bagi para pengunjungnya. Air Danau Poso sangat jernih dan tidak keruh meskipun terjadi banjir pada sungai-sungai yang bermuara di danau ini.


Setiap tahun, di Danau Poso diselenggarakan event Festival Danau Poso. Peristiwa budaya ini menggelar beragam pertunjukan kesenian daerah dari kabupaten/kota se Propinsi Sulawesi Tengah, eksebisi kesenian daerah lain di Indonesia, serta pameran industri kerajinan daerah dan atraksi permainan rakyat/olahraga tradisional.


Kini Tanah Poso telah menjadi sebuah negeri yang aman, damai dan bersahaja. Masyarakatnya hidup rukun dan berdampingan dalam satu tekad “Sintuvu Maroso”, bahasa daerah Poso yang berarti Hidup Erat Bersatu. Lewat budaya direkatkan persatuan terjalin pilin menjadi keindahan hidup yang damai, makmur dan sejahtera.****

Senin, 17 Mei 2010

KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI TENGAH


Berbagai macam kesenian Tradisional Sulawesi Tengah yang sampai sekarang masih digemari masyarakat, dan diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu seperti modero, vaino, Dadendate, Kakula, Lumense serta Peule Cinde, Mamosa, Morego, Pajoge, dan Balia.

Kesenian tradisional Modero, tarian yang dibawakan oleh golongan tua dan muda pada waktu pesta panen (vunja). Tarian ini ditarikan di tengah sawah, biasanya sampai pagi hari. Tujuan dari tarian ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas keberhasilan panen, sekaligus merupakan hiburan bagi para petani setelah bekerja keras.

Selanjutnya untuk Vaino, merupakan pembacaan syair-syair yang dibawakan secara bersahut-sahutan. Biasanya dilakukan pada waktu pesta kedukaan, yaitu di antara malam-malam dari hari ke- 3 sampai hari ke- 40 setelah kematian.

Sedangkan Dadendate, dapat dikategorikan sebagai seni suara, berupa nyanyian yang dilagukan semalam suntuk oleh seorang pria dan seorang wanita secara bergantian dengan iringan alat musik gambus. Syair yang dinyanyikan berisikan sindiran yang sifatnya membangun. Kesenian ini pada umunmya digemari oleh semua lapisan umur dalam masyarakat.

Untuk kesenian tradisional Kakula, yaitu sejenis kesenian yang menggunakan seperangkat alat musik, terdiri dari 15 buah kakula, 2 buah tambur, dan sebuah gong.
Untuk jenis tarian yang disuguhkan untuk menyambut tamu-tamu terhormat, yang diakhiri dengan menaburkan bunga kepada para tamu sering dinamai tarian . Lumense dan Peule Cinde
Mamosa, merupakan tarian perang yang dibawakan oleh seorang penari pria dengan membawa parang dan perisai kayu, yang ditarikan dengan gerakan melompat-lompat seperti menangkis serangan. Tarian ini diiringi alat musik gendang dan gong.

Sedanngkan Morego, sejenis tarian untuk menyambut kepulangan para pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan. Sebelum tarian ini ditarikan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti meminta restu kepada pemangku adat, kemudian mencari wanita pasangan menari yang belum menikah.

Selanjutnya, Pajoge, merupakan tarian yang berasal dari lingkungan istana, dan biasanya ditarikan pada waktu ada pesta pelantikan raja. Tarian ini merupakan hasil pengaruh unsur kesenian dari kebudayaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Para penarinya terdiri dari tujuh penari wanita dan seorang penari pria.

Balia, merupakan sejenis tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda keramat, khususnya yang berhubungan dengan pengobatan tradisional terhadap seseorang yang terkena pengaruh roh jahat.

Kalau dilihat dari kesenian tari, wilayah Sulawesi tengah akan kaya dengan seni budayanya. Hanya saja, cara untuk melestarikan serta mempertahankan serta mempromosikannya perlu mendapat perhatian secara maksimal dari pemerintah daerah (rstmopm).

Rabu, 05 Mei 2010

SENI BUDAYA SULAWESI TENGAH

Suku bangsa Kaili merupakan penduduk mayoritas di propinsi Sulawesi Tengah, di samping suku-suku bangsa besar lainnya seperti Dampelas, Kulawi, dan Pamona. Orang Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan orang Kulawi dan Pamona merupakan penganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya, yaitu Balaesang, Tomini, Lore, Mori, Bungku, Buol Toli-toli, dan lain-lain.
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek moyang. Mereka mengakui bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang disebut Tomanuru, yaitu orang yang menjelma dari suatu tumbuh-tumbuhan tertentu yang merupakan titisan/jelmaan dari seorang dewa.

Di samping penduduk asli, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara. Bahkan ada sebuah catatan sejarah yang menyatakan, bahwa raja-raja dari Sulawesi Selatan (seperti Bone, Gowa, dan Luwu) pernah lama berkuasa di Sulawesi Tengah, sehingga sampai dewasa ini masih terlihat adanya peninggalan-peninggalan unsur budaya yang memiliki ciri-ciri Bugis-Makassar, seperti bentuk rumah, adat istiadat, perkawinan, tata cara bertani, sistem kekerabatan, sistem mata pencaharian hidup, dan sebagainya.

Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ini terutama masih dianut oleh penduduk yang bermukim di daerah pedalaman, atau mereka yang termasuk kelompok masyarakat terasing di Sulawesi Tengah, seperti suku bangsa Tolare, Wana, Seasea, dan Daya. Inti dari kepercayaan warisan nenek moyang ini antara lain kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk halus, yang dianggap sebagai kekuatan gaib, sebagai tempat berlindung dan bermohon, dengan melalui cara-cara tertentu atau dengan suatu upacara khusus. Banyak nama dan jenis makhluk halus yang dikenal, yang mendiami dan menguasai hutan, gunung, sungai, batu-batu besar, kuburan keramat (disebut anitu) atau laut. Penduduk setempat mengenal jenis-jenis makhluk halus yang sering menjelma sebagai orang pendek yang disebut topepa, makhluk halus yang menjelma menjadi bermacam-macam binatang (kalomba), atau roh-roh orang yang mati terbunuh waktu perang yang sering menampakkan diri tanpa kepala.

Roh atau makhluk halus dibedakan atas dua jenis, yaitu roh halus dari manusia yang telah meninggal karena disebut taulerultalivarani dan roh halus dari manusia yang mati dalam keadaan tidak wajar, seperti pontiana (roh orang mati karena melahirkan). Selain itu ada makhluk-makhluk halus yang menghuni sekitar tempat kehidupan manusia, yang dianggap sebagai penguasa alam dan sering mengganggu manusia. Agar tidak mengganggu manusia dan menimbulkan malapetaka, maka manusia harus mengadakan komunikasi secara khusus melalui upacara ritual dengan mempersembahkan sesaji.

Kepercayaan lain yang masih diyakini masyarakat ialah kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan ilmu hitamnya dapat membunuh orang lain dengan kekuatan roh jahatnya. Orang demikian disebut topeule, yang ditakuti masyarakat karena gangguan roh jahat (mbalasa) yang dimanfaatkannya dapat membuat orang sakit atau meninggal. Kepercayaan akan kematian seseorang sebagai akibat gangguan makhluk halus masih terasa dalam setiap upacara pengobatan tradisional, yaitu upacara balia. Oleh sebab itu peranan dukun (tobalia) sangat penting dalam mengobati orang-orang sakit atau sebagai penghubung antara manusia dengan roh halus.

Penduduk setempat juga percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai tempat-tempat tertentu, dan mereka dianggap sebagai dewa penguasa (pue) tempat-tempat tersebut. Makhluk halus yang menguasai laut disebut pue ntasi, yang menguasai tanah disebut pue ntana, yang menguasai hutan disebut pue nggayu, dan lain-lain.

Demikian pula masyarakat setempat masih mempercayai adanya benda-benda sakti, seperti tana sanggamu (tanah segenggam) yang diyakini sebagai salah satu benda sakti. Bila benda tersebut dibuka dari ikatannya, akan dapat mengakibatkan berbagai peristiwa alam misalnya gempa bumi, bencana alam, dan lain-lain. Di samping itu dikenal benda-benda sakti yang dapat digunakan sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat menjadi kebal terhadap senjata tajam, anti guna-guna, tidak diganggu hantu, dan sebagainya. Benda-benda sakti ini dapat berupa keris, cincin, parang, potongan kayu, dan lain-lain.

Dengan masuknya agama Islam sebagai agama mayoritas serta agama-agama lain (terutama Kristen), kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tersebut belum hilang sama sekali, bahkan tumbuh dan berkembang bercampur dengan agama dalam bentuk sinkretisme. Hal ini dapat disaksikan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat yang sudah merupakan perpaduan antara sistem kepercayaan lama dan agama. Meskipun demikian upacara-upacara yang dianggap kurang sesuai dengan agama berangsur-angsur hilang dalam bentuk aslinya, tinggal sisa-sisanya yang dikembangkan dalam simbol-simbol tertentu. Keadaan seperti ini terutama berlaku dalam suku-suku bangsa yang sudah memeluk salah satu agama.


Demikian pula halnya dengan nilai-nilai yang dimiliki suku-suku bangsa pendukung kebudayaan Sulawesi Tengah berorientasi pada ajaran agama Islam dan Kristen serta adat istiadat yang masih sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini. Nilai-nilai yang berlandaskan ajaran agama Islam terungkap dalam kata-kata Adat bersendikan syara (adat berlandaskan ajaran agama Islam), sedangkan yang berdasarkan ajaran agama Kristen menitikberatkan akan "kasih terhadap sesama". Semua ini dijadikan pedoman dan sistem pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, agar tercipta keteraturan yang terkendali serta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.

Masyarakat Sulawesi Tengah juga mengembangkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.

Demikian pula masyarakat Sulawesi Tengah mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa didampingi seorang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orangtua dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan seseorang yang dianggap dapat merugikan orang lain juga diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya pelaku pelanggaran adat akan dikenakan denda adat atau sanksi sosial lainnya, seperti menjadi bahan pembicaraan atau ejekan masyarakat, dikucilkan dari masyarakatnya, diusir dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan terjadi pembunuhan sebagai tindakan balas dendam, atau bentuk-bentuk denda dan sanksi lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita dengan sengaja sampai pada perbuatan melanggar susila (pelanggaran yang dilakukan disebut salah kana), maka pelakunya bisa saja dibunuh oleh keluarga pihak wanita yang diganggu. Kalau pembunuhan tidak sampai terjadi, pelanggar akan dikenakan denda seperti yang telah ditentukan oleh adat.

Selain itu adat juga menetapkan beberapa larangan, seperti seorang laki-laki tidak boleh dengan sengaja melihat perempuan yang sedang mandi, salah berbicara sehingga menyebabkan orang lain tersinggung, seorang wanita tidak boleh menerima laki-laki lain jika suaminya sedang tidak berada di rumah, dan lain-lain. Pendidikan budi pekerti ditanamkan dalam diri individu sejak dia masih berusia anak-anak, dan biasanya dilakukan oleh orangtua sesudah makan malam.

Demikian pula dalam masyarakat dikembangkan sopan santun dalam hubungan kekerabatan, misalnya bagaimana harus bersikap, berkata-kata dan bertindak terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua usianya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka yang tergolong muda harus bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tua usianya, serta mereka yang berasal dari golongan yang lebih tinggi status sosial dan kedudukannya dalam masyarakatnya. Sebaliknya golongan tua harus dapat bersikap hati-hati dalam memberikan contoh yang baik untuk diteladani oleh para generasi muda.

Pendidikan moral ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada ayah mereka.

Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).

Pada masyarakat Sulawesi Tengah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya (tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-pembantunya), dan organisisasi sosial kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi wanita, dan sebagainya.

Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah mendapat banyak pengaruh kebudayaan dari luar, namun pendidikan moral dan agama masih terus dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarga. Demikian pula walaupun masyarakat Sulawesi Tengah menerima banyak pembaharuan dari unsur-unsur kebudayaan luar, namun secara keseluruhan mereka dapat mempertahankan ketradisionalan dalam unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki (rstmopm).