Selasa, 20 Juli 2010

MENGENAL LEBIH DEKAT KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN

Banggai Kepulauan, salahsatu kota Kabupaten yang terletak di pemerintahan Propinsi Sulawesi Tengah sedangkan ibukotanya Banggai. Sesuai dengan namanya, daerahnya merupakan wilayah kepulauan sehingga 2/3 merupakan wilayah perairan dan sisanya merupakan daratan.

Sebagai wilayah kelautan, laut merupakan sebuah sendi kehidupan sehari-hari bagi masyarakat setempat. Laut beserta isinya terdapat potensi dan kekayaan alam yang dapat diolah sebagai penopang kehidupan penduduk Banggai Kepulauan (Bangkep). Sehingga laut merupakan harapan kehidupan bagi masyarakat Bangkep.

Demikian diatas merupakan sekelumit informasi tentang Kab. Bangkep yang kudapat selama aku berada di Kabupaten Tojo Unauna, Propinsi Sulawesi Tengah. Sehingga rasa penasaranku menyeret untuk pergi kedaerah kepulauan tersebut. Terlebih lagi, ketertarikannya pergi kesana, dimana daerah kepulauan diindentikkan banyak orang daerahnya miskin, tingkat pendidikannya rendah dan lain-lain sebagainya.

Setibanya disana, ternyata apa yang diperkirakan banyak orang sangat jauh berbeda. Kondisi yang ada disana, fasilitas dan infrastruktur pemerintahannya bisa dikatakan mencukupi atau mewadahi untuk keperluan sehari-hahri bagi masyarakat sehingga aktivitas masyarakat layaknya masyarakat di kota kota lain.

Kabupaten Bangkep merupakan wilayah pemekaran yang berdasarkan Undang-undang No 51 tahun1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Kab. Morowali dan Kab. Bangkep yang diresmikan pada 3 Maret 1999. Secara administrasi, ibukota Bangkep terletak di Banggai. Dengan luas wilayahnya 3.160, 46 Km persegi merupakan daratan sedangkan wilayah lautan seluas 18.828,10 Km persegi dengan penduduk sekitar 157.792 Jiwa.

Kabupaten Bangkep terdiri sembilan Kecamatan. Wilayahnya memiliki 123 pulau lima diantaranya merupakan Pulau sedang. Pulau-pulau sedang tersebut, pulau Peleng,Pulau Banggai, Pulau Bangkurung, Pulau Salue Besar dan Pulau Kecil (tak berpenghuni).

Andalan hasil perkebunan di setiap kecamatan seperti, kelapa, kakao, Cengkeh dan Jambu mede. Namun sangat disayangkan, wilayah ini sampai saat ini belum terlihat industri pengolahan dari hasil perkebunan tersebut.

Hasil perkebunan oleh masyarakat diolah secara manual seperti hasil kelapa misalnya, oleh masyarakat kelapa tersebut dikeringkan untuk dijadikan kopra dan kemudian dikirim ke kota Luwuk, Kab. Banggai. Untuk menuju Luwuk, masyarakat harus naik kapal feri itupun ketergantungan cuaca yang ada. Sebagian dikirim ke Surabaya untuk keperluan yang sama. Sedang hasil jambu mede, dijual kepada warga pendatang dari jawa.

Sedangkan hasil perkebunan Cengkeh, dulunya merupakan hasil primadona bagi petani disana. Pada tahun 2002 yang lalu, harga cengkering mencapai Rp 80 ribu rupiah per Kg dan kini hanya mencapai belasan ribu rupiah per Kg kering.

Meskipun di Bangkep sumbangan tanaman pangan terhadap perekonomian cukup berarti, namun, untuk mencukupi kebutuhan pangan terutama beras Bangkep masih mendatangkan beras dari luar daerah terutama dari Kab.Banggai dan Kab. Parigi Mountong.

Sebagai wilayah kepulauan, satu satunya alat transportasi angkut barang hanyalah kapal. Sehingga kapal merupakan sarana angkut hasil bumi dan hasil laut yang diandalkan untuk emnuju ke propinsi atau pulau lain.

Selain hasil perkebunan, Bangkep memiliki kekayaan keindahan laut yang mempesona seperti pantai dan pulau pulau kecilnya. Mutiara, merupakan hasil primadona masyarakat di wilayah pantai. Namun sangat disayangkan, peerintah setempat belum menggali secara maksimal. Sehinga Bangkep seakan semakin jauh untuk dijangkau dan semakin jauh dari harapan untuk menari wisatawan.

Bangkep dengan latarbelakang wilayah kelautan, maka tak heran kalau wilayah ini merupakan penyalur terbesar ikan asin dan ikan asapan. Untuk kedepan, wilayah ini harus fokus untuk menggenjot perekonomian melalui pembangunan perikanan dan kelautan serta wisata yang profesional agar dapat emningkatkan pendapatan asli aderah yang dapat mensejahterakan masyarakatnya.

Untuk menggali lebih dalam tentang Kab. Bangkep, di waktu mendatang penulis akan menelusuri tentang sosial budaya Bangkep dan seisi-isinya yang ada disana (Rs- 13).

Selasa, 13 Juli 2010

LAPORAN PERJALANAN

MERAJUT KEBERSAMAAN DALAM KEMAJEMUKAN


Panggilan Tugas perjalanan jelajah pulau terluar yang menyeretku ke Sulawesi Tengah, kutinggalkan Jakarta yang tidak pernah tidur dengan berbagai problemantika kehidupan. Diperut pesawat aku terbang kedaerah yang belum kutahu ada apa disana.



Hampir tiga jam waktu penerbanganku dari Jakarta yang membawa ketempat yang asing belum kuketahui tentang apa dan bagaimanan dalam tugasku nanti. Di bandar Mutiara sebagai pintu masuk ke bumi Tadulako aku melangkah memulai karirku di Sulwesi Tengah.

Peradaban kehidupan masyarakat setempat sekitar kota Palu, Selawesi Tengah, walaupun aku hanya semalam sedikitnya dapat mengutip kondisi ibu Kota Propinsi Sulteng tersebut. Kehidupan malam dipantai Talise diramaikan penjual pisang goreng dan saraba yang disertai kue lainnya yang dinikmati pengunjung dikursi-kursi plastik sengaja dijajar menghadap teluk Palu. Dapat kukatakan sentral kehidupan malam di Palu berada di Pantai penghibur Talise. Dibalik itu, Kota Palu atau disebut kota Kaledo, berdiri pusat pendidikan Agama Al-khairat yang memiliki pengaruhnya dibelahan timur Indonesia . Yayasan Al Khairaat Yang diketuai oleh KH Sagab Aljufri, MA atau disapa habib Sagaf penerus perjuangan Uztad Tua tokoh agama dari hadramaut yang mengabdikan dirinya di Sulawesi Tengah higga akhir hayatnya.

Selain capek aku harus cepat tidur, mengingat besok akan melakukan perjalan panjang sekitar empat ratusan kilometer kebangian timur Sulawesi Tengah. Pagi hari Bus rental yang aku tumpangi mulai meluncur kearah timur dengan kecepatan 70 hingga 90 km perjam melewati jalan yang tidak selebar dikota metropolitan jakarta atau kota besar lainnya.

Sekitar empat puluan kilometer mobil melewati kebun Kopi. Konon, ceritera dari penumpang disisiku, tempat itu banyak disingahi mobil penumpang, sekedar membeli sayur Wortel, dan sayur lainnya untuk dibawah pulang kerumah ataupun sekedar ole-oleh kepada tetangga.

Beberapa tahun yang lalu masih menurut teman sebangku, Kebun Kopi masih alami, udara masih sangat dingin, kendati siang hari. Tetapi saat saat ini, entah pemanasan global, atau terjadi lubang dilapisan ozon yang ikut memperngaruhi Kebun Kopi tidak lagi sesejuk dulu lagi. Aku biarkan cerita itu sambil lalu karena mataku mulai tertutup karena dikuasai rasa ngantuk karena goyangan mobil.

Memasuki jantung kota Parigi Mountong (Parimo), Mobil mobil rental yang aku tumpangi, mampir dirumah makan yang berada dijalur Trans Sulawesi. Para penumpang termasuk aku memesan makan siang sebelum lanjut Ke Poso yang akan ditempuh tiga jam perjalanan.

Saat aku makan siang, pikiranku kembali mengingat-ngigat lagi berita-berita panas Poso diberbagai media cetak atau elektronik saat kerusuhan melanda daerah tersebut. Kota eboni sebutan Poso yang tadinya sangat tentram, kemudian dicabik-cabik bencana sosial. Kota Poso berubah menjadi merah, memerah karena tumpahan darah dan bara api yang membakar pemukiman masyarakat baik kelompok putih maupun merah. Dan itu berlangsung secara berjilid. Disana banyak keluarga kehilangan harta dan sanak keluarganya. Panasnya Poso ibarat sepanas api dendam kusumat akibat pertikaian yang berakibat fatal bagi sendi kehidupan, terlebih sendi ekonomi lumpuh total yang semakin mempertajam ketidak percayaan antar sesama. Krisis kepercayaan antara umat dan antar masyarakat punah hanya karena ulah provokator. Padahal, Poso adalah daerah yang sangat strategis karena menjadi sentral Sulawesi. Dimana kelumpuhan kabupaten Poso memberi imbas yang cukup berarti bagi daerah lain. Akses transportasi lumpuh Total, baik dari Luwuk – Ampana - Palu dan Makasar atau arah sebaliknya yang semua melintasi Poso.

Aku tersentak setelah bunyi klason mobil yang kutumpangi berbunyi, pertanda mobil akan meneruskan lagi route perjalanan. Kuteguk sisa air aqua botol namun batinku masih penasaran, “ seperti apa Poso yang akan kulewati nanti ?”

Poso, kini mampu merajut kebersamaan dalam kemajemukan.Memasuki perbatasan, tepatnya didesa Kalora, disamping kanan jalan, berdiri Pos polisi menurut cerita penumpang disampingku. Pada saat Poso bergolak, antrian mobil cukup panjang menanti pemeriksaan petugas terhadap penumpang di Pos tersebut. pemeriksaan cukup ketat, untuk mengatisipasi masuknya senjata ilegal kedaerah yang sedang dilanda bencana sosial.

Namun perjalanan perdanaku saat melintas poso menjawab kondisi sebenarnya saat ini. Sebuah kenyataan memberi penjelasan yang akurat seperti apa poso saat ini. Aktifitas kehidupan masyarakat yang kulewati normal seakan tidak pernah terjadi peristiwa besar yang merusak tatanan kehidupan masyarakat, sejak perbatasan Kabupaten Parigi Mautong dengan Poso. Infrastruktur sudah ditata kembali. Satu dua puing rumah bekas terbakar masih terlihat, tetapi sudah ditumbuhi rumput liar, karena pemiliknya membiarkannya.

Ketika memasuki jantung kota Poso, kondisi kehidupan semakin hidup. Pasar Sentral yang berada dilintasan jalan Trans Sulawesi diramaikan aktifitas jual beli masyarakat. Di SPBU dekat pasar tersebut beberapa penjaja makan seperti jagung rebus dan kacang goreng seakan menampal kehidupan suram Kota Poso beberapa tahun silam, aktifitas kehidupan semakin bersemangat dan berusaha melupakan masa lalu yang kelabu.

Di Jembatan dua Poso terlihat Pos penjagaan yang biasa-biasa saja sampai tiba di desa Togolu persimpangan jalan ke Tentena - Makasar dan dan Jurusan Ampana – Bunta – Luwuk. Mobil yang kutumpangi mulai meliuk mengikuti jalur jalan yang berliku-liku dan kontur jalan naik turun sepanjang duapuluan kilometer. Mobil tumpanganku memasuki desa Tombiano, perbatasan Kabupaten Poso dengan Tojo Unauna. Infrastruktur banyak terbangun yang oleh dana keserasian yang dikucurkan pemerintah pusat. Didesa Podi yang menurut ceritra teman sebangku, desa tersebut pernah dilanda banjir bandang yang membuat jembatan rangka baja ikut hanyut. Yang kemudian ditanggulangi dengan jembatan Bally agar akses tranportasi darat tidak terhambat. Lepas dari jembatan Podi, mobil membelah jalan yang berpasir dan sedikit becek. Kalau banjir besar jalur itu sulit dilalui, kalau mau memaksa, harus mengelurkan dana ektra untuk membayar masyarakat setempat untuk mengarahkan jalur mobil agar tidak terjebak ditengah air.

Perjalanan yang cukup pajang dan melelahkan akhirnya tertunda sebentar ketika mobil kembali keluar dari jalur jalan Trans Sulawesi. “kita mampir makan dulu, yang mau ngopi silakan” Ujar Sopir. Beberapa restoran dan rumah makan dibangun dibibir laut yang cukup terjal. Memberi nuansa kesegaran adanya hembusan angin dibelakang bangunan yang dibiarkan terbuka. Banyak penumpang berdiri dibagian itu sekedar menikmati panorama laut biru Padapu.

Aku mengikuti penumpang lain untuk memilih jenis ikan sebagai santapan. Banyak ikan segar, aku mendecak kagum, kalau di Jakarta sulit kutemukan jenis ikan yang tergolong mahal disana. Tidak sampai Rp. 50 ribu yang aku keluarkan dimeja kasir untuk membayar makan dan secangkir Kopi.

Mobil kembali meluncur kearah timur lagi. Memasuki Ibu Kota kecamatan Ulubongka, tepatnya didesa Marowo, aktifitas penduduk sedikit ada, dibanding beberapa kilometer pesisir pantai yang aku lalui hanya terdapat beberapa rumah saja.

Lepas dari ibu kota kecamatan Ulubongka, kembali mobil mulai meliuk mengikuti alur Gunung sebelum memasuki Pintu masuk Ampana sebagai Ibu Kota Kabupaten Tojo Unauna.


Aktifitas kehidupan mulai ramai terlihat menjelang petang hari. Rumah-rumah permanen mulai padat. Tepat pukul 5.30 mobil tumpangan mengantar aku ke Hotel Oasis. Salah satu Hotel yang cukup baik di Ampana. Kota Ampana atau disebut Kota Sivia Pautuju dimalam hari sedikit ramai, kehidupan malam terlihat hanya sekitar dua puluh meter dari Hotel Oasis, tenda-tenda penjual pisang goreng dan saraba buka hingga pukul 24.00 wita.


Meskipun Ampana tidak seramai Palu, tetapi aku dapat merasakan ritual agama yang didominasi Islam sangat terasa. Dini hari menjelang subuh dari kejauhan terdengar pengajian dan azan berkumandang dari mikrofon.

Kedamaian alam sangat terasa di Ampana, semakin memancing aku ingin masuk lebih dalam pada sendi kehidupan masyarakat yang hetrogen. Beberapa etnis hidup aman berdampingan. Baik penduduk asli, Bae’e, Taa, Bugis, Kaili, Gorontalo dan beberapa suku lainnya. Hal ini semakin terasa ketika aku melangkahkan kaki kebelakang Hotel, akftitas jula beli di Pasar sentral Ampana berjalan baik, sebagai pendatang baru aku merasa asing ditempat ini.

Beberapa refrensi yang aku dapatkan di Hotel, Kota Ampana pernah sukses dalam menyelenggarakan MTQ tingkat propinsi diarena perkantoran Baru kabupaten. Pada saat itu Gubernur HB Paliudju memberi nama kawasan perkantoran sebagai kota Mas, yakni masyarakat aman sejetera. Ujar Sang Jendral bintang satu dalam sambutan pembukaan MTQ tersebut.

Dipusat Kota Ampana, Kendaraan tradisional bendi mudah diketemukan. Kendaraan semacam ini, kalau dijawa disebut delman atau sado. Dalam nyanyian zaman kuda gigit besi, itulah keberadaan kereta kuda yang pernah kucoba menaikinya. Selain itu kenderaan arternatif mudah diketemukan, jauh dekat Rp. Tiga ribu rupiah. Konon kendaraan ojek mengusur kehadiran becak maupun bentor (becak ditarik motor,red). Namun kenderaan Bendi tetap dipertahankan sebagai sarana penunjang sektor parawisata yang menjadi salah primadona program unggulan kabupaten Tojo Unauna selain sektor perikanan maupun pertambangan. Konon bahan tambang cukup banyak senatero Tojo Unauna, seperti ladang minyak bumi dikepulauan Togean berdasarkan hasil pemotretan udara beberapa tahun yang lalu.

Di Hotel Oasis aku banyak memperoleh pengetahuan tentang daerah tujuan wisata yang sudah dikenal dunia, yakni kepulauan Togean. Beberapa pemerhati parawisata sering menyebut kawasan tersebut sepotong sorga dari langit. Menurut ceritera petugas hotel kepulauan Togean adalah sorga bagi turis manca negara yang mengandrungi wisata bahari.

Sebagai pencinta keindahan, aku semakin terpancing untuk berkunjung kesana untuk membuktikan keindahan kepulauan Togean yang juga disebut hidden paradise. Untuk menyaksikan terumbu karang dipusat karang dunia tersebut. Pelaku industri parawisata di kawasan Togean yang juga diprogramkan taman nasional kepulauan Togean (TNKT) yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Disana tidak saja pengusaha lokal, tetapi pengusaha asing melakukan kegiatan parawisata. Seperti Mr. Lukas kebangsaan Itali yang membuka cotetages dan menyiapkan fasiltas penyelaman dengan tarif nginap 100 dolar US perhari diluar harga menu tambahan yang dipesan. Selain itu, Mr Selvi warga Amerika yang mengku sudah menjadi WNI menjalankan usaha parawisata di desa Bomba, kecamatan Unauna dimasa kolonial disebut pulau ringgit. Pengusaha lokal, seperti suami isteri Edy dan Huntje pemilik hotel Oasis membuka usaha parawisata di Pulau kadidiri, berdampingan dengan Cotteage Black Marlin milik Bahrun. Satu kesimpulan keindahan kawasan kepulauan Togean kuakui sangat asri dan memiliki estetika tinggi ciptaan sang pencipta.

Kehidupan di Ampana makin memancing keingintahuanku tentang kondisi kehidupan masyarakat yang terkesan tentram. Seharusnya saat ini didaerah ini konstalasi politik sudah makin memanas menjelang Pilkada. Namun yang kudapati pemilukada 2010 belum berpengaruh banyak pada stabilitas kamtibmas di Tojo Unauna. Apakah hal ini disebabkan karena kedewasaan masyarakat dalam menyikapi politik. Ataukah konsentrasi masyarakat terfokus pada kebutuhan ekonomi. Stabilitas kamtibmas kudapatkan juga didesa Mire yang berada dihulu sungai Bongka, maupun dataran Bulan dikecamatan Ampana Tete. Didataran bulan masih tetap kondusif padahal menurut keterangan sejumlah sumber, kawasan tersebut kadang terisolir hingga berminggu-minggu karena putusnya sarana transportasi. Padahal kawasan tersebut dihuni sekitar lima ribuan masyarakat eks transmigrasi yang berasal dari daerah berbeda, seperti jawa, bali, NTT, NTB dan penduduk lokal. Kehidupan hetrogen yang homogenis semakin mengagumkan aku menyaksikan dan merasakan peradaban kehidupan masyarakat Tojo Una-una yang mampu merajut kebersamaan. Mereka mampu mendelete sekat-sekat yang dapat memicu perselisihan dan terputusnya hubungan silahturrahim. Semua berpulang pada masyarakat mampukah kondisi tersebut dipertahankan, kuncinya jangan terpancing isu yang berbau provokatif (R – 113).

Minggu, 27 Juni 2010

ASAL MULA NAMA PULAU TERDEPAN, MIANGAS

Miangas, dalam bahasa setempat berarti ”Menangis atau kasihan”, karena letaknya yang terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi laut. Kalau dalam bahasan Talaud, Miangas berati Malu. Ini berkaitan dengan masa lalunya, konon ketika orang dari Nanusa waktu mau ke Miangas ternyata di sini sudah ada orang, sehingga orang tersebut MALU.

Nama lainnya, Po Ilaten (seperti kilat), karena saat itu kalau dilihat dari Filipina terlihat seperti ada kilat dikejauhan, yang ternyata adalah sebuah pulau. Sehingga, kalau masih ada kilat di timur laut (maksudnya pulau Miangas), berarti orang yang berada di pulau tersebut masih hidup. Wui Batu, karena pulau ini terlihat seperti batu muncul. Mamea, nama lain yang berasal dari bahasa Sangir (dulu Miangas termasuk Kabupaten Sangir-Talaud). Sedangkan beberapa pihak dari Filipina memberi nama pulau ini dengan julukan “La Palmas”.

Asal Mula Penduduk Miangas
Konon ceritanya, ada orang dari Sulawesi Tengah yang datang ke Filipina dan kawin dengan orang Philipina. Kemudian tinggal di Gunung Kulamah (Filipina) gunung bukit.Saat itu, mereka melihat P. Miangas ini seperti kapal, jauh di timur laut.

Kedua pasangan, Sapu (perempuan) Tinori (nama orang) naik ikan hiu menuju pulau yang dituju, Miangas, Tiba di Miangas masih kosong dan tinggal di Tanjung Merah. Beberapa lama kemudian, tiba-tiba ada yang datang dari Dampulis ( pulau di Nanusa). Rencananya mau ke Filipina, tapi karena di tengah perjalanan melihat pulau Miangas, maka mereka mendarat di pulau tersebut. Tiba-tiba mereka melihat jejak-jejak kaki, dan mencari-cari si empunya jejak kaki tersebut.

Setelah menemukan orang yang empunya jejak kaki, maka mereka menangkap ke dua orang yang terdahulu, dan mengikatnya. Kemudian keduanya dinaikkan perahu dan dibuang ke laut.
Setelah berhasil membuang ke laut, maka orang-orang Dampulis tersebut kembali lagi ke Nanusa.

Sementara itu, kedua orang yang dibuangnya dibiarkan terapung-apung dilaut. Namun, secara tiba-tiba, muncullah ikan hiu yang dulu pernah membawa mereka dari Filipina ke pulau Miangas. Ikan hiu tersebut lalu menyelamatkan kedua orang untuk dibawa kembali ke pulau yang pernah dituju, P.Miangas. Sehingga kedua orang itu pun tinggal menetap kembali di pulau ini.

Berikutnya, orang-orang Dampulis yang pernah membuang kedua pasangan ternyata kembali lagi ke pulau ini, sambil membawa warga Dampulis lainnya.

Ketika mereka tiba di pulau ini, ternyata mereka menemukan lagi jejak-jejak kaki yang sama, yaitu jejak kaki kedua orang yang pernah dibuang kelaut dahulu itu.

Melihat hal demikian, kemudian orang Dampulis yang pernah membuang kedua orang ke laut tersebut, kemudian mengatakan kepada warga Dampulis lainnya agar jangan mengganggu atau membunuh kedua orang itu, karena mungkin saja itu adalah roh’nya.

Begitulah akhirnya, kemudian mereka beranak-pinak dan penduduk Miangas sekarang ini adalah para keturunan mereka.

Terjadinya Perang
Pada dahulu kala di Pulau Miangas, pernah terjadi perang berkali-kali antara penduduk setempat dengan penduduk perantau dari Philipina.

Perang pertama terjadi ketika suku Sulu (dari Filipina) datang dengan 11 perahu berawak 100 orang. Dan pada saat itu, di pulau ini baru ada penduduk sekitar 25 kepala keluarga berarti orang yang sanggup menghadapi perang sekitar 25 laki-laki.

Untuk menyusun sttrategi pertahanan, sejumlah 25 orang Laki-laki tersebut membuat benteng di Tanjung Bora diperuntukan sebagai mempertahankan diri.

Namun karena jumlahnya lebih sedikit dan kekurangan air, akhirnya mereka kalah. Mereka mundur dan melarikan diri ke Wui Batu (Gunung Keramat) dengan cara berenang dan menggunakan perahu. Di sana, Wuim Batu, mereka membangun benteng lagi.

Orang-orang Sulu tetap mengejar dan terus menyerang ke atas. Di Wawon Soro (daerah Menara Suar), peperangan terjadi lagi, sehingga menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak masing-masing 50%. Opa Are (Panglima perang dari pulau ini) akhirnya juga wafat di Wawon Soro. Melihat jatuhnya banyak korban, akhirnya Sulu pun pulang kembali ke Filipina.

Belum puas dengan perang yang pertama, kemudian orang-orang Sulu datang kembali ke pulau ini. Kali ini berkekuatan lima perahu berjumlah 50 orang.

Opa Mura, adalah Panglima Perang pulau ini pada waktu datang serangan kedua dari Sulu tersebut. Opa Mura dan pasukannya bertahan di gua, yang kemudian dibakar oleh orang-orang Sulu. Banyak orang-orang Miangas yang meninggal di gua ini. Kemudian mereka mundur kePantai Madiu.

Sampai suatu saat, Opa Mura dengan kekuatannya mengangkat sebuah batu besar (yang normalnya harus diangkat 8-10 orang). Batu besar itu kemudian ditanam di pantai. Melihat hal tersebut, orang Sulu Nampak ketakutan dan akhirnya pulang kembali ke Filipina.

Masih tetap belum puas, orang-orang Sulu datang lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini berkekuatan dua perahu dengan 25 orang.Kali ini yang menjadi Panglima perang pulau ini adalah Opa Andrikus Lupa.

Pada penyerangan yang ketiga ini, orang-orang Sulu saling berhadapan dengan orang-orang Miangas di depan Pos AL yang sekarang ini. Orang Sulu bertanya, “Berapa kepala keluarga di sini ?” Jawab, “Ada lagi di bawah, di sini ada jago silat”.

Memang, di pulau ini ternyata sudah menetap dua orang pedagang Cina. Mereka (orang Cina tersebut) berasal dari Talaud, Benton dan Belian.

Selanjutnya, (termasuk kedua orang Cina tersebut) terjadilah perkelahian di antara mereka. Dengan bantuan ke dua orang Cina tersebut, maka, sekali lagi, suku Sulu menderita kekalahan untuk ketiga kalinya. Mereka pun akhirnya kembali ke negaranya.

Sejak peperangan yang ketiga kalinya itu, suku Sulu sudah tidak pernah datang-datang lagi ke Miangas(rstmopm).

Minggu, 20 Juni 2010

PULAU TERDEPAN, MIANGAS PERLU PERHATIAN KHUSUS

Kepulauan Miangas, merupakan pemerintahan kecamatan Khusus Perbatasan yang berada di wilayah Kab. Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau ini merupakan bagian Pulau terdepan dari Negara Republik Indonesia.

Dengan batas-batas wilayah, sebelah Utara berbatasan dengan negara Philipina dan Samudera Pasifik (Perairan Philipina Selatan), sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan P. Karatung (Nanusa) dan sebalah barat berbatasan dengan Philipina (Laut Sulawesi).

Jangkauan terdekat, Jarak antara Miangas - Menado sekitar 310 mil, Miangas – Nanusa (P. Karatung) sekitar 75 mil atau 232 Km, Sedangkan jarak ke Davao, Mindanao, Philipina sekitar 48 mil atau 83,6 Km.

Sedangkan luas wilayah, dari masing masing institusi mempuyai data yang berlainan. Seperti data dari POSAL mempunyai data keluasan 6,227 km2, data dari Bakosurtanal menunjukan 2,18 Km persegi dan versi data Kompas, 3,15 Km persegi.

Pulau berpantai pasir putih dengan bebatuan itu dapat ditelusuri dengan berjalan kaki dalam waktu sekitar dua hingga tiga jam. Bentuk pantai, sebagaian besar landai dan berkarang. Hanya saja, dibagian sebelah utara dan timur laut sedikit bertebing dan curam. Umumnya di daerah pantai yang sekaligus dijadikan daerah hunian penduduk. Di sebelah Timur Laut, merupakan daerah pebukitan yang oleh penduduk setempat dimanfaatkan sebagai kebun/ladang. Sedangkan di atas bukit terdapat sebuah menara suar dan situs peninggalan masa lampau berupa empat pucuk meriam ukuran kecil. Selama di Pulau Miangas, tidak mungkin akan menjumpai sungai.

Ada sebagian wilayah, merupakan daerah rawa-rawa yang ditumbuhi pohon sagu dan laluga (semacam talas). Di samping itu juga ditumbuhi tanaman kelapa,yang sekaligus menjadi salah satu mata pencaharian pokok penduduk.

Letak Pulau Miangas yang berada di sebelah utara khatulistiwa, menyebabkan daerah ini mempunyai iklim Equatorial. Hal ini, dapat mempengaruhi adanya angin laut, sehingga setiap harinya turun hujan walaupun kadang-kadang gerimis dan mendung saja. Wilayahnya yang dikelilingi lautan yang luas menyebakan sekali-kali turun hujan meskipun pada musim kemarau. Dengan demikian, di sini terdapat tiga musim seperti, pada antara bulan September - Nopember merupakan musim hujan, pada bulan Juli - September musim kemarau dan pada bulan Pebruari - Juni merupakan musim panca roba.

Desa Miangas terdiri dari tiga dusun, yang setelah mengalami pemekaran maka sekarang menjadi Kecamatan Khusus Perbatasan. Sedangkan sebelumnya, merupakan bagian dari Kecamatan Nanusa Kabupaten Kepulauan Talaud. Pemukiman penduduk terletak di sisi barat daya P. Miangas. Rumah-rumah di Desa Miangas terbagi di dua jalan utama yang sejajar, terbuat dari semen dengan lebar skitar empat meter.

Saat ini di wilayah tersebut, mempunyai fasilitas pendidikan tingkat TK, SD, SMP, dan SMK Kelautan yang jumlahnya masing-masing satu yang terletak di satu lokasi.Namun dengan tenaga pendidik yang terbatas, maka kebanyakan anak-anak Miangas menempuh pendidikan tingkat SLTA di luar P. Miangas; bisa di Tahuna, Melonguane, atau di Bitung/Manado. Namun disayangkan, tingkat pendidikan masyarakat Miangas sebagian besar mengenyam bangku SLTP, hanya sebagian kecil tamat SLTA dan sarjana.

Sedangkan sarana kesehatan yang ada sampai saat ini berupa satu bangunan Puskesmas Pembantu yang terletak di tengah pemukiman penduduk. Ada satu bangunan baru Puskesmas yang letaknya di pinggir hutan, dan masih belum terpakai. Karena letaknya yang agak jauh dari pemukiman penduduk, dimungkinkan bangunan tersebut sengaja dikosongkan.


Ada tenaga dokter yang bertugas di sana secara bergiliran; namun seringnya dilayani oleh seorang tenaga medis setingkat mantri. Selain itu, terdapat satu kapal Puskesmas Keliling Laut, sumbangan dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, yang berasal dari Tahun Anggaran 2007. Namun sangat disayangkan kapal tersebut nampak teronggok begitu saja di pantai Racuna depan Pos AL dan kurang terawat karena jarang sekali digunakan.

Selain itu juga terdapat Perahu Evakuasi, bantuan dari Departemen Sosial RI tahun anggaran 2006. Perahu ini terbungkus rapi di pantai Racuna depan Posal, dan nampaknya belum pernah digunakan juga.

Di wilayah ini, terdapat jaringan telepon selular yang difasilitasi oleh salah satu operator selular ternama. Namun kemampuannya terbatas, karena maksimal hanya bisa menampung maksimal tujuh penelepon secara bersamaan, sehingga penelepon berikutnya harus bergantian. BTS berbentuk seperti parabola dengan daya jangkau signal hanya sekitar 50 meter dari BTS Parabola dengan menggunakan energi listrik yang berasal dari sel tenaga surya yang diletakkan berdekatan dengan parabola tersebut. Adapun akses untuk berkomunikasi melalui HP berlangsung selama 24 jam penuh. Lokasi parabola dipasang di sebelah kantor Kecamatan tepatnya disamping pendopo kecamatan, di seberang POS AL.

Sebelumnya, disini pernah terdapat jasa telepon satelit yang dipasang di rumah Kepala Desa, namun hingga saat ini alat tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Yang paling menarik disini, mayoritas penduduknya memiliki parbola guna menangkap siaran televisi nasional. Sedangkan alat penerangan, penduduk menggunakan listrik tenaga diesel yang berkekuatan 40 KW yang hidup selama lima jam, 17.30 s.d. 23.30.

Untuk kebutuhan air, terdapat sumber mata air dari sumur yang dialirkan dengan pompa kemudian disalurkan tempat penampungan air selanjutnya disalurkan ke titik-titik pemanfaatan air (rumah-rumah penduduk). Namun sayangnya, kondisi pompa saat ini dalam keadaan rusak. Hal ini menimbulkan kerja keras bagi warga untuk mengambi air dan harus bersusah payah mengangkut air dengan mengunakan gerobag dorong. Selain itu, penduduk juga mendapatkan air dengan cara tadah hujan.

Informasi, kalau anda datang ke lokasi ini, jangan sekali-kali menunggu angkutan darat karena di sini tidak ada angkutan darat. Hal ini sangat diyakini, karena luas wilayahnya yang relatif kecil dan kesemuanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Hanya saja, ada beberapa sepeda motor milik penduduk, yang hanya dipergunakan sesekali ke kebun dan untuk angkutan barang, penduduk pada umumnya menggunakan gerobak dorong.

Karena wilayah kelautan, disini ada tiga kapal perintis yang berkeliling dari Manado – Sangihe – Talaud, termasuk singgah ke P. Miangas, yaitu KM Meliku Nusa, KM Berkat Taloda, dan KM Daraki Nusa. Ketiga kapal perintis yang digunakan mendapat subsidi dari Pemerintah.
Selain itu, ada juga satu kapal PELNI, yaitu KMP Sangiang, yang daya jelajahnya hingga ke Ternate. Informasi lengkap mengenai jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal-kapal tersebut, bisa didapatkan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Sehingga keempat kapal tersebut, secara bergantian merapat ke P. Miangas, sambil menghubungkan daerah-daerah seperti, Bitung – Tahuna – Lirung – Melonguane – Beo – Essang – Karatung – Kakarutan – Miangas – Marore – Kawio – Kawaluso – Tahuna – PP.

Tingkat perekonomian penduduk Miangas tergolong kelas menengah ke bawah. Hal ini dipengaruhi kondisi cuaca yang tidak menentu, karena masyarakat hanya menggantungkan pada jasa angkutan laut, dalam hal ini kapal perintis maupun perahu tradisional sebagai sarana transportasi jual/beli dari/ke Kota Tahuna, Melonguane, dan Bitung, Manado.

Sementara untuk melayani kebutuhan sehari-hari, saat ini terdapat beberapa kios penjualan yang dikelola perorangan. Harga barang yang dijual relatif lebih mahal dari harga standard, dikarenakan masalah jarak yang sangat jauh (Bitung, Manado). Ada bangunan pasar, tetapi sudah terbengkalai karena tidak adanya aktivitas jual-beli.

Bahkan BBM harganya luar biasa mahalnya. Hal tersebut dikarenakan pengelolaannya dilemparkan ke pasar bebas. Pemerintah dalam hal ini Pertamina sampai saat ini tidak melakukan distribusi langsung ke P. Miangas. Meskipun disini terdapat tiga tangki besar dari Pertamina namun hingga saat ini dibiarkan kosong melompong sejak satu tahun setelah dibangun terlebih belum pernah sekalipun digunakan.

Kopra merupakan hasil idola masyarakat, namun sayangnya produksi kopra dikelola secara tradisional, yang kemudian dijual ke Tahuna dan Bitung, dengan menggunakan jasa Kapal-kapal Perintis. Hal ini dapat dilakukan dalam setahun empat kali panen. Meskipun saat ini mulai terdapat juga produksi coklat dan cengkeh, walaupun masih belum seberapa dibandingkan dengan hasil dari kopra yang sudah turun-temurun sejak dahulu.

Selain itu, para nelayan dalam melaut masih secara tradisional menggunakan perahu pelang (berkaki bambu). Terlebih belum adanya fasilitas Mesin pendingin untuk menyimpan ikan dan kapal penampung ikan yang secara berkala mengunjungi P. Miangas, membuat para nelayan di sini lebih banyak menangkap ikan untuk dikonsumsi sendiri. Adapun jumlah tangkapan bergantung keadaan cuaca. Hasil tangkapannya sebagian dijadikan ikan asin Produksi ikan asin juga dikelola secara tradisional, yang hasilnya selain dijual ke Tahuna dan Bitung, bisa juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari saat datang musim barat dimana nelayan tidak melaut.
Di Miangas, terdapat perwakilan Republik Philipina, yang semula untuk melayani kegiatan Lintas Batas dari Pulau Miangas ke Republik Philipina maupun sebaliknya.Namun saat ini, karena berkurangnya perdagangan antara penduduk Miangas dengan warga Philipina, maka perwakilan Philipina sering kosong dkitinggalkan perwakilannya.

Penghuni Miangas, selain orang asli Miangas sendiri yang tinggal di sini, beberapa penduduk datang dari Sangihe maupun Talaud. Bahkan beberapa berasal dari suku-suku lainnya yang jauh dari P. Miangas, terutama adalah para petugas dari instansi resmi pemerintah (penjaga menara suar, aparat TNI-AL, TNI-AD, dan Polri).

Adapun Penduduk Desa Miangas berjumlah 203 Kepala Keluarga atau 762 jiwa, dengan rincian laki-laki 353 jiwa dan perempuan 399 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rumah, karena terdapat satu bangunan rumah yang dihuni oleh 2-3 Kepala Keluarga. Sebagian besar penduduk Miangas memeluk agam Protestan, dan 11 orang agama Islam dan 2 orang agama Katholik. Kehidupan antar umat beragama cukup baik dan penuh toleransi.

Penduduk Miangas perlu memperoleh suatu perhatian secara serius dari negara dan pemerintah Indonesia, karena taraf kesejahteraan dan sosialnya rendah. Adapun indikasinya, masyarakat Miangas menghadapi keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan sosial dasarnya, seperti kebutuhan pangan, kesehatan, tempat tinggal dan pendidikan. Terbatasnya sarana transportasi menuju Miangas, menyebabkan distribusi bahan makanan dan BBM sangat terbatas. Kondisi ini mengkibatkan harga kebutuhan pokok di Miangas jauh lebih mahal, dan bahkan sering kali bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut tidak tersedia. Terlebih lagi, setelah adanya Peraturan Menteri Perhubungan RI yang melarang kapal perintis memuat BBM, penduduk kesulitan untuk membawa BBM ke Miangas. Keterbatasan transportasi dan distribusi BBM tersebut ditambah lagi dengan perubahan cuaca yang menyebabkan gelombang besar, sehingga pada bulan Oktober – Maret penduduk tidak bisa melaut.

Rendahnya derajat kesejahteraan sosial penduduk Miangas dapat mendorong mereka
bermigrasi ke Talaud dan Manado atau pun ke Philipina. Lebih ekstrim lagi, dapat menimbulkan gangguan keamanan nasioanl, terutama berkenaan dengan keutuhan wilayah nasional (NKRI). Sebagaimana diketahui, bahwa secara geografis Pulau Miangas dan Negera Philipina sangat dekat, yaitu 78 mill atau dua – tiga jam perjalanan laut; dan masih banyak famili warga Miangas yang tinggal di Philipina bagian selatan (rstmopm).

Minggu, 30 Mei 2010

PULAU MARORE WILAYAH TERDEPAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

(S – M) - Marore merupakan sebuah Pulau kecil yang berada paling terdepan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Philipina. Pulau Marore, termasuk di dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabuka Utara, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Pulau yang terdiri atas Kp. Marore, anak kampung Pulau Matutuang dan Pulau Mamanuk.

Secara geografis dan Politis, Marore sangatlah strategis dan unik. Dibilang strategis, karena Pulau Marore ini merupakan terdepan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Letak Pulau yang membujur dari Barat Daya. kearah Timur laut dengan luas sekitar 2,5 hektare persegi ini, umumnya terdiri daerah perbukitan dan bukan pulau karang. Perbukitannya bergelombang dengan ketinggian antara Nol meter dari permukaan laut sampai dengan 110 dari permukaan laut. Daerah perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga, jambu mede, rumpun bambu dan lain sebagainya. MayoritasTambah Gambar penduduknya mendiami di Bagian pantai sebelah barat daya dan minoritas di pantai timur.

Pulau Marore didiami oleh suku Sangir . Jumlah penduduk Kampung Marore menurut data tahun 2006 berjumlah 562 jiwa yang terdiri atas 135 kepala keluarga. Sementara penduduk Pulau Matutuang anak kampung Marore sejumlah 300 jiwa. Sedangkan Pulau Mamanuk yang luasnya sekitar delapan hektare yang juga termasuk Kampung Marore tidak perpenghuni. Penduduk Marore pada umumnya beragama Kristen Protestan

Penduduk Marore dapat digolongkan miskin. Hal ini terlihat pada 50% atau 60 kepala keluarga masih mendapatkan suatu bantuan tunjangan uang miskin. Mata pencaharian penduduk Marore sebagai nelayan dan petani. Adapun hasi dari pertanian berupa, kelapa yang diolah untuk dijadikan kopra. Adapun penjualan kopra dilakukan di Tahuna.

Mata pencaharian lain sebagai nelayan penangkap ikan laut. Ikan laut hasil tangkapannya dijual melalui pedagang yang datang dari Philipina. Ikan tersebut dibawa ke tempat pengalengan ikan terbesar di General Santos City, Pulau Mindanao, Philipina. Penangkapan ikan hanya dapat dilakukan pada musim teduh atau jika ada pesanan pembeli dari Philipina. Jika tidak ada pesanan atau pembeli dari Philipina, ikan hasil tangkapan tersebut hanya umtuk kosumsi sendiri.

Penduduk yang mendiami di Pulau Marore juga melakukan perdagangan dengan penduduk Marore yang bertinggal di Philipina. Adapun barang – barang yang dibeli dari Philipina seperti beras, minuman, alat rumah tangga dan kebutuhan lainnya. Adapun sistim pembayarannya, dibayar dengan matau uang rupiah dan ada kalanya dengan barter atau dibayar dengan mata uang Philipina, Peso.

Bila dilihat secara dekat, sarana prasarana yang ada di Pulau Marore seperti, kantor kampung, kator Camat, kantor Border Crossing Phillipina, Kantor Syahbandar, Bea Cukai, imigrasi dan Pos AL, Koramil dan Kepolisian. Fasilitas lainnya yang ada, seperti, Gereja, Puskesmas, Sekolah Dasar, SMP dan SMA. Untuk fasilitas penerangan, Listrik dari PLN yang hidup selama 12 jam, pada malam hari.

Sedangkan prasarana tranportasi, Jalan, di pemungkiman barat di tengah kampung dengan kelebaran 3,5 meter, jalan lingkungan dengan lebar jalan 2,5 meter dan jalan penghubung dari pemungkiman barat ke pemungkiman timur mempunyai kelebaran sekitar 2 meter. Bahan jalan dari beton cor. Kondisi jalan penghubung antar pemungkiman ini sering rusak yang dikarenakan tergerus oleh arus ombak.

Marore Pintu Gerbangnya Indonesia

Ketrpencilan Pulau ini dapat dillihat dari tiga lautan yang mengelilinginya, seperti laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Samudera Pasifik. Pulau Marore dikatakan sebagai pintu gerbang, karena jarak antara pulau Balut sebagai pulau terdepan dari wilayah Philipina saling berdekatan. Kalau dihitung jaraknya, sedikitnya 7 Km dari Pulau Marore ke Pulau Balut atau setara dengan jarak antara Jakarta – Kawasan Puncak, Bogor.

Jika kondisi laut tenang, jarak tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan kapal Fuso selama empat jam perjalanan. Namun jika laut sedang tidak bersahabat, perjalanan tersebut bisa jauh lebih lama.

Kondisi laut antara pulau Marore dengan pulau milik tetangga ini sangat spektakuler. Kedalaman terjauhnya sekitar 16 Km. Namun sangat disayangkan, banyak potensi didalamnya belum tercatatnya.

Pulau Marore yang terisolir memiliki keberuntungan tersendiri layaknya seperti pulau pulau terdepan lainnya. Memiliki keindahan panoramanya, udaranya belum terpolusi dan mendapat sinar matahari dari siang hingga sore. Pulau dengan titik tengah yang terletak di koordinat 4 derajat 44’ 9,6” Lintang Utara dan 125 derajat 29’ 2,5” Bujur Timur ini memiliki lingkungan yang masih asri dan kekayaan alam yang masih perawan.

Keasrian dan keperawanan dari pulau seperti ini perlu penjagaan serta pelestarian dari semua insan yang memilikinya. Dapat dibayangkan, kesulitan penduduk setempat yang hanya memiliki tiga lokasi sumber air bersih yang kini menghidupi mereka dapat terganggu dengan adanya pengerusakan alam sekitar oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Hal ini akan menjadi beban penderitaan penduduk setempat.

Wisata Bahari Tergolong Lengkap

Selain ada hutan perawan yang berada di perbukitan, pulau tersebut juga menjadi lahan subur bagi tanaman kelapa, jeruk, nanas dan lain lalin. Selain itu, penduduk setempat juga membudidayakan tanaman singkong. Singkong merupakan salah satu makanan utama mereka.

Sementara itu, dibagian pantai terdapat hamparan pasir putih yang penuh keindahan. Di Pulau Marore, bagi pelancong bahari akan merasakan kelengkapan pesona karena mempunyai pasir putih, laut yang bersih dan matahari yang selalu bersinar.

Terlebih lagi perairan y6ang dangkal di Marore dihiasi dengan aneka jenis terumbu karang. Survei telah membuktikan, terumbu karangnya tergolong dalam katagori antara sedang dan baik. Ragam pesona dari kehidupan berbagai jenis ikan karang nan elok menjadikan perairan Marore menambah daya pikat yang elok. Dilihat dari sumber daya manusia, Pulau Marore tergolong lumayan baik dengan adanya sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas. Selain itu, demi keamnan berlayar, di pantai juga telah tersedia mercuar

Kondisi seperti diatas menjadikan sebuah renungan kita semua. Pertanyaannya sekarang, Akankah Marore kelak yang menjadi pulau terdepan negara kesatuan republik Indonesia ini akan menjadi seonggok daratan paling depan yang mampu mendatangkan nilai tambah tinggi bagi penjaganya (Penduduk).

Pemburu ikan Hiu yang Ulung

Nasib kehidupan sebagai nelayan di Marore sangat berbeda dengan nasib kehidupan nelayan –nelayan yang ada di pantai utara Jawa atau kawasan lainnya. Mereka dalam setahun hanya bisa melaut sekitar empat hingga lima bulan atau pada bulan Mei, Juni, Juli, Nopember dan bulan Desember. Pada bulan bulan lainnya cuaca tidak mendukung yang diakibatkan dari pengaruh badai Phillipina. Dan sedikitnya dua kali terjadi badai dalam setahun.

Dengan kondisi demikian, penduduk Marore masih mengatakan beruntung karena daerahnya telah dikaruniai kekayaan yang berlimpah. Di dalam laut, beraneka ragam jenis ikan bernilai ekonomis siap diburu. Ikan ikan tersebut seperti, Hiu, Cakalang, Layar, tuna dan kerapu.

Disamping itu, ikan ikan semacam itu juga dapat dijadikan sebuah hiburan tersendiri bagi pelancong yang gemar olah raga memancing. Sedangkan pelancong yang belum lihai memancing, dapat belajar dengan masyarakat Marore.

Dengan modal peralatan sederhana, nelayan Marore sangat ulung dalam menangkap ikan tersebut . Keulungan ini merupakan hasil turun temurun dari nenek moyang mereka. Dalam memburu ikan hiu, mereka menggunakan rawai, pancing ulur dan senjata panah.

Dari sekian keluarga nelayan, sebagai besar sebagai pemburu ikan hiu. Dan sebagian kecil nelayan di sana dalam memburu ikan selain hiu menggunakan jaring. Jadi, jangan merasa heran apabila anda disana jarang menemukan jaring.

Nelayan Marore sangat alami dan sangat ulung dalam berburu ikan hiu. Terlebih perahu yang digunakan dalam berburu adalah pumpboat atau sejenis perahu kecil yang bersayapkan bambu.

Kalau diamati secara mendalam, ukuran perahu yang digunakan sangat kecil, dengan panjangnya sekitar sepuluh meter dan mempunyai kelebaran sekitar satu meter. Kalau kita bandingkan dengan nelayan nelayan yang berada di kawasan lain, hiu-hiu diburu dengan menggunakan kapal-kapal berukuran jauh lebih besar. Penduduk setempat menggunakan perahu kecil mempunyai alasan tersendiri, karena kebiasaan melaut pada waktu subuh dan kembali sore harinya dan jelajah tangkapnya hanya sekitar 15 mil laut atau di sekitar Pulau sekelilingnya seperti Pulau Mamanuk dan Pulau Matatuang.

Dengan keulungan nelayan Marore, perlu menjadi sebuah cermin kehidupan masyarakat nelayan pesisir lainnya. Sedangkan untuk meningkatkan taraf hidup mayarakat nelayan di Marore, pemerintah setempat atau pemerintah pusat segera memodernisasi peralatan nelayan tersebut. Selain itu, Pulau Marore sebagai pintu gerbang masuk wilayah Indonesia yang secara politis sangat strategis, sehingga pemerintah dan masyarakat secara sinergis untuk menjaga pulau tersebut sebagai wilayah Indonesia.

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan ke depan terhadap Pulau terdepan yang bersifat sangat strategis ditinjau dari politis, dan pertahanan keamanan perlu dilakukan sebuah wujud pembangunan yang sesuai dengan budaya kehidupan setempat. Selain itu, aparatur negara keamanan dan pertahanan selain menjaga keamanan harus diperankan dalam menjaga kelestarian alam sekitarnya di pulau terdepan.

Rabu, 26 Mei 2010

DANAU POSO, SEBUAH EKSOTIKA KEINDAHAN INDONESIA

Mungkin kita semua masih ingat peristiwa berdarah yang dikenal dengan Konflik Poso, beberapa tahun yang silam. Pasca kerusuhan Poso, daerah ini seolah menjadi momok ketakutan bagi setiap orang yang akan melintas di Poso. Bumi Sintuvu Maroso, demikian julukan Kota Poso, seakan menjadi kota mati yang tak bergairah. Padahal daerah ini banyak menyimpan pesona keindahan berbagai obyek wisatanya. Sebut saja misalnya, ada Air Terjun Sulewana yang sekarang telah dibangun menjadi pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air dimana suplay daya listriknya dapat memenuhi kebutuhan listrik wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Selain itu ada Goa Latea, yang menyimpan berbagai misteri tapak-tapak sejarah peninggalan purbakala di Tanah Poso, dan masih banyak lagi obyek wisata menarik lainnya.

Salah satu obyek wisata yang menjadi icon Poso dan sudah terkenal hingga ke mancanegara adalah Danau Poso. Danau Poso terletak di kota Tentena Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah, pada posisi strategis lintasan perjalanan Trans Sulawesi antara Toraja, Poso, Gorontalo dan Manado. Posisi ini membuat Danau Poso selalu disinggahi wisatawan. Danau Poso dapat dicapai dengan perjalanan darat 57 kilometer dari kota Poso atau 283 kilometer dari kota Palu. Luasnya bisa mencapai ± 32.000 hektar yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 32 kilometer dengan lebar 16 kilometer dan kedalaman mencapai 510 meter. Danau yang berada pada ketinggian 657 meter pada permukaan laut ini, memiliki keunikan karena berpasir putih dan kuning keemasan serta bergelombang seperti air laut. Panorama alam di sekeliling danau sangat indah. Perbukitan dan hutan di sekitarnya berdiri tegar memagari danau. Udara yang sejuk membawa kesegaran bagi para pengunjungnya. Air Danau Poso sangat jernih dan tidak keruh meskipun terjadi banjir pada sungai-sungai yang bermuara di danau ini.


Setiap tahun, di Danau Poso diselenggarakan event Festival Danau Poso. Peristiwa budaya ini menggelar beragam pertunjukan kesenian daerah dari kabupaten/kota se Propinsi Sulawesi Tengah, eksebisi kesenian daerah lain di Indonesia, serta pameran industri kerajinan daerah dan atraksi permainan rakyat/olahraga tradisional.


Kini Tanah Poso telah menjadi sebuah negeri yang aman, damai dan bersahaja. Masyarakatnya hidup rukun dan berdampingan dalam satu tekad “Sintuvu Maroso”, bahasa daerah Poso yang berarti Hidup Erat Bersatu. Lewat budaya direkatkan persatuan terjalin pilin menjadi keindahan hidup yang damai, makmur dan sejahtera.****

Senin, 17 Mei 2010

KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI TENGAH


Berbagai macam kesenian Tradisional Sulawesi Tengah yang sampai sekarang masih digemari masyarakat, dan diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu seperti modero, vaino, Dadendate, Kakula, Lumense serta Peule Cinde, Mamosa, Morego, Pajoge, dan Balia.

Kesenian tradisional Modero, tarian yang dibawakan oleh golongan tua dan muda pada waktu pesta panen (vunja). Tarian ini ditarikan di tengah sawah, biasanya sampai pagi hari. Tujuan dari tarian ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas keberhasilan panen, sekaligus merupakan hiburan bagi para petani setelah bekerja keras.

Selanjutnya untuk Vaino, merupakan pembacaan syair-syair yang dibawakan secara bersahut-sahutan. Biasanya dilakukan pada waktu pesta kedukaan, yaitu di antara malam-malam dari hari ke- 3 sampai hari ke- 40 setelah kematian.

Sedangkan Dadendate, dapat dikategorikan sebagai seni suara, berupa nyanyian yang dilagukan semalam suntuk oleh seorang pria dan seorang wanita secara bergantian dengan iringan alat musik gambus. Syair yang dinyanyikan berisikan sindiran yang sifatnya membangun. Kesenian ini pada umunmya digemari oleh semua lapisan umur dalam masyarakat.

Untuk kesenian tradisional Kakula, yaitu sejenis kesenian yang menggunakan seperangkat alat musik, terdiri dari 15 buah kakula, 2 buah tambur, dan sebuah gong.
Untuk jenis tarian yang disuguhkan untuk menyambut tamu-tamu terhormat, yang diakhiri dengan menaburkan bunga kepada para tamu sering dinamai tarian . Lumense dan Peule Cinde
Mamosa, merupakan tarian perang yang dibawakan oleh seorang penari pria dengan membawa parang dan perisai kayu, yang ditarikan dengan gerakan melompat-lompat seperti menangkis serangan. Tarian ini diiringi alat musik gendang dan gong.

Sedanngkan Morego, sejenis tarian untuk menyambut kepulangan para pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan. Sebelum tarian ini ditarikan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti meminta restu kepada pemangku adat, kemudian mencari wanita pasangan menari yang belum menikah.

Selanjutnya, Pajoge, merupakan tarian yang berasal dari lingkungan istana, dan biasanya ditarikan pada waktu ada pesta pelantikan raja. Tarian ini merupakan hasil pengaruh unsur kesenian dari kebudayaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Para penarinya terdiri dari tujuh penari wanita dan seorang penari pria.

Balia, merupakan sejenis tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda keramat, khususnya yang berhubungan dengan pengobatan tradisional terhadap seseorang yang terkena pengaruh roh jahat.

Kalau dilihat dari kesenian tari, wilayah Sulawesi tengah akan kaya dengan seni budayanya. Hanya saja, cara untuk melestarikan serta mempertahankan serta mempromosikannya perlu mendapat perhatian secara maksimal dari pemerintah daerah (rstmopm).

Rabu, 05 Mei 2010

SENI BUDAYA SULAWESI TENGAH

Suku bangsa Kaili merupakan penduduk mayoritas di propinsi Sulawesi Tengah, di samping suku-suku bangsa besar lainnya seperti Dampelas, Kulawi, dan Pamona. Orang Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan orang Kulawi dan Pamona merupakan penganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya, yaitu Balaesang, Tomini, Lore, Mori, Bungku, Buol Toli-toli, dan lain-lain.
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek moyang. Mereka mengakui bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang disebut Tomanuru, yaitu orang yang menjelma dari suatu tumbuh-tumbuhan tertentu yang merupakan titisan/jelmaan dari seorang dewa.

Di samping penduduk asli, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara. Bahkan ada sebuah catatan sejarah yang menyatakan, bahwa raja-raja dari Sulawesi Selatan (seperti Bone, Gowa, dan Luwu) pernah lama berkuasa di Sulawesi Tengah, sehingga sampai dewasa ini masih terlihat adanya peninggalan-peninggalan unsur budaya yang memiliki ciri-ciri Bugis-Makassar, seperti bentuk rumah, adat istiadat, perkawinan, tata cara bertani, sistem kekerabatan, sistem mata pencaharian hidup, dan sebagainya.

Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ini terutama masih dianut oleh penduduk yang bermukim di daerah pedalaman, atau mereka yang termasuk kelompok masyarakat terasing di Sulawesi Tengah, seperti suku bangsa Tolare, Wana, Seasea, dan Daya. Inti dari kepercayaan warisan nenek moyang ini antara lain kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk halus, yang dianggap sebagai kekuatan gaib, sebagai tempat berlindung dan bermohon, dengan melalui cara-cara tertentu atau dengan suatu upacara khusus. Banyak nama dan jenis makhluk halus yang dikenal, yang mendiami dan menguasai hutan, gunung, sungai, batu-batu besar, kuburan keramat (disebut anitu) atau laut. Penduduk setempat mengenal jenis-jenis makhluk halus yang sering menjelma sebagai orang pendek yang disebut topepa, makhluk halus yang menjelma menjadi bermacam-macam binatang (kalomba), atau roh-roh orang yang mati terbunuh waktu perang yang sering menampakkan diri tanpa kepala.

Roh atau makhluk halus dibedakan atas dua jenis, yaitu roh halus dari manusia yang telah meninggal karena disebut taulerultalivarani dan roh halus dari manusia yang mati dalam keadaan tidak wajar, seperti pontiana (roh orang mati karena melahirkan). Selain itu ada makhluk-makhluk halus yang menghuni sekitar tempat kehidupan manusia, yang dianggap sebagai penguasa alam dan sering mengganggu manusia. Agar tidak mengganggu manusia dan menimbulkan malapetaka, maka manusia harus mengadakan komunikasi secara khusus melalui upacara ritual dengan mempersembahkan sesaji.

Kepercayaan lain yang masih diyakini masyarakat ialah kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan ilmu hitamnya dapat membunuh orang lain dengan kekuatan roh jahatnya. Orang demikian disebut topeule, yang ditakuti masyarakat karena gangguan roh jahat (mbalasa) yang dimanfaatkannya dapat membuat orang sakit atau meninggal. Kepercayaan akan kematian seseorang sebagai akibat gangguan makhluk halus masih terasa dalam setiap upacara pengobatan tradisional, yaitu upacara balia. Oleh sebab itu peranan dukun (tobalia) sangat penting dalam mengobati orang-orang sakit atau sebagai penghubung antara manusia dengan roh halus.

Penduduk setempat juga percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai tempat-tempat tertentu, dan mereka dianggap sebagai dewa penguasa (pue) tempat-tempat tersebut. Makhluk halus yang menguasai laut disebut pue ntasi, yang menguasai tanah disebut pue ntana, yang menguasai hutan disebut pue nggayu, dan lain-lain.

Demikian pula masyarakat setempat masih mempercayai adanya benda-benda sakti, seperti tana sanggamu (tanah segenggam) yang diyakini sebagai salah satu benda sakti. Bila benda tersebut dibuka dari ikatannya, akan dapat mengakibatkan berbagai peristiwa alam misalnya gempa bumi, bencana alam, dan lain-lain. Di samping itu dikenal benda-benda sakti yang dapat digunakan sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat menjadi kebal terhadap senjata tajam, anti guna-guna, tidak diganggu hantu, dan sebagainya. Benda-benda sakti ini dapat berupa keris, cincin, parang, potongan kayu, dan lain-lain.

Dengan masuknya agama Islam sebagai agama mayoritas serta agama-agama lain (terutama Kristen), kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tersebut belum hilang sama sekali, bahkan tumbuh dan berkembang bercampur dengan agama dalam bentuk sinkretisme. Hal ini dapat disaksikan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat yang sudah merupakan perpaduan antara sistem kepercayaan lama dan agama. Meskipun demikian upacara-upacara yang dianggap kurang sesuai dengan agama berangsur-angsur hilang dalam bentuk aslinya, tinggal sisa-sisanya yang dikembangkan dalam simbol-simbol tertentu. Keadaan seperti ini terutama berlaku dalam suku-suku bangsa yang sudah memeluk salah satu agama.


Demikian pula halnya dengan nilai-nilai yang dimiliki suku-suku bangsa pendukung kebudayaan Sulawesi Tengah berorientasi pada ajaran agama Islam dan Kristen serta adat istiadat yang masih sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini. Nilai-nilai yang berlandaskan ajaran agama Islam terungkap dalam kata-kata Adat bersendikan syara (adat berlandaskan ajaran agama Islam), sedangkan yang berdasarkan ajaran agama Kristen menitikberatkan akan "kasih terhadap sesama". Semua ini dijadikan pedoman dan sistem pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, agar tercipta keteraturan yang terkendali serta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.

Masyarakat Sulawesi Tengah juga mengembangkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.

Demikian pula masyarakat Sulawesi Tengah mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa didampingi seorang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orangtua dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan seseorang yang dianggap dapat merugikan orang lain juga diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya pelaku pelanggaran adat akan dikenakan denda adat atau sanksi sosial lainnya, seperti menjadi bahan pembicaraan atau ejekan masyarakat, dikucilkan dari masyarakatnya, diusir dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan terjadi pembunuhan sebagai tindakan balas dendam, atau bentuk-bentuk denda dan sanksi lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita dengan sengaja sampai pada perbuatan melanggar susila (pelanggaran yang dilakukan disebut salah kana), maka pelakunya bisa saja dibunuh oleh keluarga pihak wanita yang diganggu. Kalau pembunuhan tidak sampai terjadi, pelanggar akan dikenakan denda seperti yang telah ditentukan oleh adat.

Selain itu adat juga menetapkan beberapa larangan, seperti seorang laki-laki tidak boleh dengan sengaja melihat perempuan yang sedang mandi, salah berbicara sehingga menyebabkan orang lain tersinggung, seorang wanita tidak boleh menerima laki-laki lain jika suaminya sedang tidak berada di rumah, dan lain-lain. Pendidikan budi pekerti ditanamkan dalam diri individu sejak dia masih berusia anak-anak, dan biasanya dilakukan oleh orangtua sesudah makan malam.

Demikian pula dalam masyarakat dikembangkan sopan santun dalam hubungan kekerabatan, misalnya bagaimana harus bersikap, berkata-kata dan bertindak terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua usianya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka yang tergolong muda harus bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tua usianya, serta mereka yang berasal dari golongan yang lebih tinggi status sosial dan kedudukannya dalam masyarakatnya. Sebaliknya golongan tua harus dapat bersikap hati-hati dalam memberikan contoh yang baik untuk diteladani oleh para generasi muda.

Pendidikan moral ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada ayah mereka.

Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).

Pada masyarakat Sulawesi Tengah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya (tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-pembantunya), dan organisisasi sosial kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi wanita, dan sebagainya.

Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah mendapat banyak pengaruh kebudayaan dari luar, namun pendidikan moral dan agama masih terus dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarga. Demikian pula walaupun masyarakat Sulawesi Tengah menerima banyak pembaharuan dari unsur-unsur kebudayaan luar, namun secara keseluruhan mereka dapat mempertahankan ketradisionalan dalam unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki (rstmopm).

Rabu, 28 April 2010

KEPULAUAN KARIMUNJAWA DAYA TARIK TERSENDIRI

Lokasi alam yang indah dan relative masih murni, Kepulauan Karimunjawa menawarkan daya tarik wisata yang menjanjikan. Wisata bahari dan wisata petualang alam, mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung di lokasi tetrsebut.
Selain lingkungan alam yang indah, penduduk Karimunjawa multietnis. Kawasan inipun menarik untuk disimak secara dekat atas berbagai keunikan budaya dan tradisinya. Pulau Karimunjawa, dapat disebut sebagai mininya nusantara lantaran campur baurnya etnis. Ada jawa, bugis dan makasar.

Penghuni penduduk di Kepulauan Karimunjawa, terdiri dari suku yang memiliki indentitas tersendiri, seperti, bentuk bangunan yang khas. Banyak Jawa mendiami di beberapa perkampungan Dukuh Karimun, Dukuh Legon Lele, Nyamplungan dan dukuh Mrican.
Masyarakat suku Jawa ini, mayoritas mata pencahariannya sebagai petani dan membuat industri rumah tangga seperti, batu bata, dan membuat minyak kelapa.


Berbeda suku Bugis, masyarakatnya sebagian besar mendiami di Pulau Kemijan, Dukuh Batu Lawang, Legon Gede, dan Duku Tlogo. Masyarakat Bugis terkenal dengan pelaut yang tangguh, oleh itu sebagian besar masyarakatnya disana berprofesi sebagai nelayan.
Hampir sama dengan masyarakat Bugis, Masyarakat Madura yang tinggal di Kepulauan Karimun pun sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Merek pun mempunyai keahlian membuat ikan kering sebagai industri rumah tangga.

Sedangkan keunikan wisata bahari, menawarkan berbagai aktivitas kegiatan wisata dan olah raga yang berhubungan dengan alam. Kepulauan Karimunjawa.Beberapa aktivitas wisata dan olah raga yang dapat dilakukan di kawasan ini seperti, menyelam.Kegiatan menyelam dapat dilakukan di sebelah timur pulau Manjangan Besar, dan masih banyak lagi lokasi selam lainnya.
Kepulauan yang masih perawan ini, dapat ditempuh perjalanan dengan melalui laut, dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang dan dari Jepara lewat pelabuhan Kartini.
Dari pelabuhan tanjung Emas, Semarang, menggunakan Kapal Motor Cepat (KMC) Kartini I, dewngan jadwal layar sepakan dua kali. Hari sabtu pukul 09.00 dan pada hari Senin pukul 07.00.

Sementara berangkat dari Jepara, dapat ditempuh setiap hari Senin, Sabtu dan Rabu. Waktu pagi sekitar 09.00 – 10.00.
Sedangkan untuk route kembalinya, pelayaran dilakukan setiap hari Minggu dan Selasa pada pagi dan sore hari.

Apabila bepergian ke Kepulauan Karimunjawa untuk bermalam, tidaklah kesusahan untuk mencari tempat istihat. Sarana akomodasi dari jenis pondok tinggal, wisma, pondok apung, sampai dengan hotel tersedia di sana. Adapun tariff penginapan sangat bervariasi dari 40 ribu rupiah hingga 300 ribu rupiah. Fasilitas akomodasi ini tersedia di beberapa pulau yang ada di Kepulauan Karimunjawa.

Selain alamnya dan akomudasi yang serba waaah, factor penduduk dan tradisinya disana membuat Kepulauan Karimunjawa memiliki daya tarik wisata budaya dan ziarah. Berbagai atarksi budaya terdapat di kawasan ini, seperti, reog, pencak silat, rebana, dan gamelan jawa. Ada juga atraksi atraksi ritual seperti, khoull Sunan Nyamlungan yang sering diperingati setiap satu suro********.