Minggu, 27 Juni 2010

ASAL MULA NAMA PULAU TERDEPAN, MIANGAS

Miangas, dalam bahasa setempat berarti ”Menangis atau kasihan”, karena letaknya yang terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi laut. Kalau dalam bahasan Talaud, Miangas berati Malu. Ini berkaitan dengan masa lalunya, konon ketika orang dari Nanusa waktu mau ke Miangas ternyata di sini sudah ada orang, sehingga orang tersebut MALU.

Nama lainnya, Po Ilaten (seperti kilat), karena saat itu kalau dilihat dari Filipina terlihat seperti ada kilat dikejauhan, yang ternyata adalah sebuah pulau. Sehingga, kalau masih ada kilat di timur laut (maksudnya pulau Miangas), berarti orang yang berada di pulau tersebut masih hidup. Wui Batu, karena pulau ini terlihat seperti batu muncul. Mamea, nama lain yang berasal dari bahasa Sangir (dulu Miangas termasuk Kabupaten Sangir-Talaud). Sedangkan beberapa pihak dari Filipina memberi nama pulau ini dengan julukan “La Palmas”.

Asal Mula Penduduk Miangas
Konon ceritanya, ada orang dari Sulawesi Tengah yang datang ke Filipina dan kawin dengan orang Philipina. Kemudian tinggal di Gunung Kulamah (Filipina) gunung bukit.Saat itu, mereka melihat P. Miangas ini seperti kapal, jauh di timur laut.

Kedua pasangan, Sapu (perempuan) Tinori (nama orang) naik ikan hiu menuju pulau yang dituju, Miangas, Tiba di Miangas masih kosong dan tinggal di Tanjung Merah. Beberapa lama kemudian, tiba-tiba ada yang datang dari Dampulis ( pulau di Nanusa). Rencananya mau ke Filipina, tapi karena di tengah perjalanan melihat pulau Miangas, maka mereka mendarat di pulau tersebut. Tiba-tiba mereka melihat jejak-jejak kaki, dan mencari-cari si empunya jejak kaki tersebut.

Setelah menemukan orang yang empunya jejak kaki, maka mereka menangkap ke dua orang yang terdahulu, dan mengikatnya. Kemudian keduanya dinaikkan perahu dan dibuang ke laut.
Setelah berhasil membuang ke laut, maka orang-orang Dampulis tersebut kembali lagi ke Nanusa.

Sementara itu, kedua orang yang dibuangnya dibiarkan terapung-apung dilaut. Namun, secara tiba-tiba, muncullah ikan hiu yang dulu pernah membawa mereka dari Filipina ke pulau Miangas. Ikan hiu tersebut lalu menyelamatkan kedua orang untuk dibawa kembali ke pulau yang pernah dituju, P.Miangas. Sehingga kedua orang itu pun tinggal menetap kembali di pulau ini.

Berikutnya, orang-orang Dampulis yang pernah membuang kedua pasangan ternyata kembali lagi ke pulau ini, sambil membawa warga Dampulis lainnya.

Ketika mereka tiba di pulau ini, ternyata mereka menemukan lagi jejak-jejak kaki yang sama, yaitu jejak kaki kedua orang yang pernah dibuang kelaut dahulu itu.

Melihat hal demikian, kemudian orang Dampulis yang pernah membuang kedua orang ke laut tersebut, kemudian mengatakan kepada warga Dampulis lainnya agar jangan mengganggu atau membunuh kedua orang itu, karena mungkin saja itu adalah roh’nya.

Begitulah akhirnya, kemudian mereka beranak-pinak dan penduduk Miangas sekarang ini adalah para keturunan mereka.

Terjadinya Perang
Pada dahulu kala di Pulau Miangas, pernah terjadi perang berkali-kali antara penduduk setempat dengan penduduk perantau dari Philipina.

Perang pertama terjadi ketika suku Sulu (dari Filipina) datang dengan 11 perahu berawak 100 orang. Dan pada saat itu, di pulau ini baru ada penduduk sekitar 25 kepala keluarga berarti orang yang sanggup menghadapi perang sekitar 25 laki-laki.

Untuk menyusun sttrategi pertahanan, sejumlah 25 orang Laki-laki tersebut membuat benteng di Tanjung Bora diperuntukan sebagai mempertahankan diri.

Namun karena jumlahnya lebih sedikit dan kekurangan air, akhirnya mereka kalah. Mereka mundur dan melarikan diri ke Wui Batu (Gunung Keramat) dengan cara berenang dan menggunakan perahu. Di sana, Wuim Batu, mereka membangun benteng lagi.

Orang-orang Sulu tetap mengejar dan terus menyerang ke atas. Di Wawon Soro (daerah Menara Suar), peperangan terjadi lagi, sehingga menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak masing-masing 50%. Opa Are (Panglima perang dari pulau ini) akhirnya juga wafat di Wawon Soro. Melihat jatuhnya banyak korban, akhirnya Sulu pun pulang kembali ke Filipina.

Belum puas dengan perang yang pertama, kemudian orang-orang Sulu datang kembali ke pulau ini. Kali ini berkekuatan lima perahu berjumlah 50 orang.

Opa Mura, adalah Panglima Perang pulau ini pada waktu datang serangan kedua dari Sulu tersebut. Opa Mura dan pasukannya bertahan di gua, yang kemudian dibakar oleh orang-orang Sulu. Banyak orang-orang Miangas yang meninggal di gua ini. Kemudian mereka mundur kePantai Madiu.

Sampai suatu saat, Opa Mura dengan kekuatannya mengangkat sebuah batu besar (yang normalnya harus diangkat 8-10 orang). Batu besar itu kemudian ditanam di pantai. Melihat hal tersebut, orang Sulu Nampak ketakutan dan akhirnya pulang kembali ke Filipina.

Masih tetap belum puas, orang-orang Sulu datang lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini berkekuatan dua perahu dengan 25 orang.Kali ini yang menjadi Panglima perang pulau ini adalah Opa Andrikus Lupa.

Pada penyerangan yang ketiga ini, orang-orang Sulu saling berhadapan dengan orang-orang Miangas di depan Pos AL yang sekarang ini. Orang Sulu bertanya, “Berapa kepala keluarga di sini ?” Jawab, “Ada lagi di bawah, di sini ada jago silat”.

Memang, di pulau ini ternyata sudah menetap dua orang pedagang Cina. Mereka (orang Cina tersebut) berasal dari Talaud, Benton dan Belian.

Selanjutnya, (termasuk kedua orang Cina tersebut) terjadilah perkelahian di antara mereka. Dengan bantuan ke dua orang Cina tersebut, maka, sekali lagi, suku Sulu menderita kekalahan untuk ketiga kalinya. Mereka pun akhirnya kembali ke negaranya.

Sejak peperangan yang ketiga kalinya itu, suku Sulu sudah tidak pernah datang-datang lagi ke Miangas(rstmopm).

Minggu, 20 Juni 2010

PULAU TERDEPAN, MIANGAS PERLU PERHATIAN KHUSUS

Kepulauan Miangas, merupakan pemerintahan kecamatan Khusus Perbatasan yang berada di wilayah Kab. Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau ini merupakan bagian Pulau terdepan dari Negara Republik Indonesia.

Dengan batas-batas wilayah, sebelah Utara berbatasan dengan negara Philipina dan Samudera Pasifik (Perairan Philipina Selatan), sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan P. Karatung (Nanusa) dan sebalah barat berbatasan dengan Philipina (Laut Sulawesi).

Jangkauan terdekat, Jarak antara Miangas - Menado sekitar 310 mil, Miangas – Nanusa (P. Karatung) sekitar 75 mil atau 232 Km, Sedangkan jarak ke Davao, Mindanao, Philipina sekitar 48 mil atau 83,6 Km.

Sedangkan luas wilayah, dari masing masing institusi mempuyai data yang berlainan. Seperti data dari POSAL mempunyai data keluasan 6,227 km2, data dari Bakosurtanal menunjukan 2,18 Km persegi dan versi data Kompas, 3,15 Km persegi.

Pulau berpantai pasir putih dengan bebatuan itu dapat ditelusuri dengan berjalan kaki dalam waktu sekitar dua hingga tiga jam. Bentuk pantai, sebagaian besar landai dan berkarang. Hanya saja, dibagian sebelah utara dan timur laut sedikit bertebing dan curam. Umumnya di daerah pantai yang sekaligus dijadikan daerah hunian penduduk. Di sebelah Timur Laut, merupakan daerah pebukitan yang oleh penduduk setempat dimanfaatkan sebagai kebun/ladang. Sedangkan di atas bukit terdapat sebuah menara suar dan situs peninggalan masa lampau berupa empat pucuk meriam ukuran kecil. Selama di Pulau Miangas, tidak mungkin akan menjumpai sungai.

Ada sebagian wilayah, merupakan daerah rawa-rawa yang ditumbuhi pohon sagu dan laluga (semacam talas). Di samping itu juga ditumbuhi tanaman kelapa,yang sekaligus menjadi salah satu mata pencaharian pokok penduduk.

Letak Pulau Miangas yang berada di sebelah utara khatulistiwa, menyebabkan daerah ini mempunyai iklim Equatorial. Hal ini, dapat mempengaruhi adanya angin laut, sehingga setiap harinya turun hujan walaupun kadang-kadang gerimis dan mendung saja. Wilayahnya yang dikelilingi lautan yang luas menyebakan sekali-kali turun hujan meskipun pada musim kemarau. Dengan demikian, di sini terdapat tiga musim seperti, pada antara bulan September - Nopember merupakan musim hujan, pada bulan Juli - September musim kemarau dan pada bulan Pebruari - Juni merupakan musim panca roba.

Desa Miangas terdiri dari tiga dusun, yang setelah mengalami pemekaran maka sekarang menjadi Kecamatan Khusus Perbatasan. Sedangkan sebelumnya, merupakan bagian dari Kecamatan Nanusa Kabupaten Kepulauan Talaud. Pemukiman penduduk terletak di sisi barat daya P. Miangas. Rumah-rumah di Desa Miangas terbagi di dua jalan utama yang sejajar, terbuat dari semen dengan lebar skitar empat meter.

Saat ini di wilayah tersebut, mempunyai fasilitas pendidikan tingkat TK, SD, SMP, dan SMK Kelautan yang jumlahnya masing-masing satu yang terletak di satu lokasi.Namun dengan tenaga pendidik yang terbatas, maka kebanyakan anak-anak Miangas menempuh pendidikan tingkat SLTA di luar P. Miangas; bisa di Tahuna, Melonguane, atau di Bitung/Manado. Namun disayangkan, tingkat pendidikan masyarakat Miangas sebagian besar mengenyam bangku SLTP, hanya sebagian kecil tamat SLTA dan sarjana.

Sedangkan sarana kesehatan yang ada sampai saat ini berupa satu bangunan Puskesmas Pembantu yang terletak di tengah pemukiman penduduk. Ada satu bangunan baru Puskesmas yang letaknya di pinggir hutan, dan masih belum terpakai. Karena letaknya yang agak jauh dari pemukiman penduduk, dimungkinkan bangunan tersebut sengaja dikosongkan.


Ada tenaga dokter yang bertugas di sana secara bergiliran; namun seringnya dilayani oleh seorang tenaga medis setingkat mantri. Selain itu, terdapat satu kapal Puskesmas Keliling Laut, sumbangan dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, yang berasal dari Tahun Anggaran 2007. Namun sangat disayangkan kapal tersebut nampak teronggok begitu saja di pantai Racuna depan Pos AL dan kurang terawat karena jarang sekali digunakan.

Selain itu juga terdapat Perahu Evakuasi, bantuan dari Departemen Sosial RI tahun anggaran 2006. Perahu ini terbungkus rapi di pantai Racuna depan Posal, dan nampaknya belum pernah digunakan juga.

Di wilayah ini, terdapat jaringan telepon selular yang difasilitasi oleh salah satu operator selular ternama. Namun kemampuannya terbatas, karena maksimal hanya bisa menampung maksimal tujuh penelepon secara bersamaan, sehingga penelepon berikutnya harus bergantian. BTS berbentuk seperti parabola dengan daya jangkau signal hanya sekitar 50 meter dari BTS Parabola dengan menggunakan energi listrik yang berasal dari sel tenaga surya yang diletakkan berdekatan dengan parabola tersebut. Adapun akses untuk berkomunikasi melalui HP berlangsung selama 24 jam penuh. Lokasi parabola dipasang di sebelah kantor Kecamatan tepatnya disamping pendopo kecamatan, di seberang POS AL.

Sebelumnya, disini pernah terdapat jasa telepon satelit yang dipasang di rumah Kepala Desa, namun hingga saat ini alat tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Yang paling menarik disini, mayoritas penduduknya memiliki parbola guna menangkap siaran televisi nasional. Sedangkan alat penerangan, penduduk menggunakan listrik tenaga diesel yang berkekuatan 40 KW yang hidup selama lima jam, 17.30 s.d. 23.30.

Untuk kebutuhan air, terdapat sumber mata air dari sumur yang dialirkan dengan pompa kemudian disalurkan tempat penampungan air selanjutnya disalurkan ke titik-titik pemanfaatan air (rumah-rumah penduduk). Namun sayangnya, kondisi pompa saat ini dalam keadaan rusak. Hal ini menimbulkan kerja keras bagi warga untuk mengambi air dan harus bersusah payah mengangkut air dengan mengunakan gerobag dorong. Selain itu, penduduk juga mendapatkan air dengan cara tadah hujan.

Informasi, kalau anda datang ke lokasi ini, jangan sekali-kali menunggu angkutan darat karena di sini tidak ada angkutan darat. Hal ini sangat diyakini, karena luas wilayahnya yang relatif kecil dan kesemuanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Hanya saja, ada beberapa sepeda motor milik penduduk, yang hanya dipergunakan sesekali ke kebun dan untuk angkutan barang, penduduk pada umumnya menggunakan gerobak dorong.

Karena wilayah kelautan, disini ada tiga kapal perintis yang berkeliling dari Manado – Sangihe – Talaud, termasuk singgah ke P. Miangas, yaitu KM Meliku Nusa, KM Berkat Taloda, dan KM Daraki Nusa. Ketiga kapal perintis yang digunakan mendapat subsidi dari Pemerintah.
Selain itu, ada juga satu kapal PELNI, yaitu KMP Sangiang, yang daya jelajahnya hingga ke Ternate. Informasi lengkap mengenai jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal-kapal tersebut, bisa didapatkan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Sehingga keempat kapal tersebut, secara bergantian merapat ke P. Miangas, sambil menghubungkan daerah-daerah seperti, Bitung – Tahuna – Lirung – Melonguane – Beo – Essang – Karatung – Kakarutan – Miangas – Marore – Kawio – Kawaluso – Tahuna – PP.

Tingkat perekonomian penduduk Miangas tergolong kelas menengah ke bawah. Hal ini dipengaruhi kondisi cuaca yang tidak menentu, karena masyarakat hanya menggantungkan pada jasa angkutan laut, dalam hal ini kapal perintis maupun perahu tradisional sebagai sarana transportasi jual/beli dari/ke Kota Tahuna, Melonguane, dan Bitung, Manado.

Sementara untuk melayani kebutuhan sehari-hari, saat ini terdapat beberapa kios penjualan yang dikelola perorangan. Harga barang yang dijual relatif lebih mahal dari harga standard, dikarenakan masalah jarak yang sangat jauh (Bitung, Manado). Ada bangunan pasar, tetapi sudah terbengkalai karena tidak adanya aktivitas jual-beli.

Bahkan BBM harganya luar biasa mahalnya. Hal tersebut dikarenakan pengelolaannya dilemparkan ke pasar bebas. Pemerintah dalam hal ini Pertamina sampai saat ini tidak melakukan distribusi langsung ke P. Miangas. Meskipun disini terdapat tiga tangki besar dari Pertamina namun hingga saat ini dibiarkan kosong melompong sejak satu tahun setelah dibangun terlebih belum pernah sekalipun digunakan.

Kopra merupakan hasil idola masyarakat, namun sayangnya produksi kopra dikelola secara tradisional, yang kemudian dijual ke Tahuna dan Bitung, dengan menggunakan jasa Kapal-kapal Perintis. Hal ini dapat dilakukan dalam setahun empat kali panen. Meskipun saat ini mulai terdapat juga produksi coklat dan cengkeh, walaupun masih belum seberapa dibandingkan dengan hasil dari kopra yang sudah turun-temurun sejak dahulu.

Selain itu, para nelayan dalam melaut masih secara tradisional menggunakan perahu pelang (berkaki bambu). Terlebih belum adanya fasilitas Mesin pendingin untuk menyimpan ikan dan kapal penampung ikan yang secara berkala mengunjungi P. Miangas, membuat para nelayan di sini lebih banyak menangkap ikan untuk dikonsumsi sendiri. Adapun jumlah tangkapan bergantung keadaan cuaca. Hasil tangkapannya sebagian dijadikan ikan asin Produksi ikan asin juga dikelola secara tradisional, yang hasilnya selain dijual ke Tahuna dan Bitung, bisa juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari saat datang musim barat dimana nelayan tidak melaut.
Di Miangas, terdapat perwakilan Republik Philipina, yang semula untuk melayani kegiatan Lintas Batas dari Pulau Miangas ke Republik Philipina maupun sebaliknya.Namun saat ini, karena berkurangnya perdagangan antara penduduk Miangas dengan warga Philipina, maka perwakilan Philipina sering kosong dkitinggalkan perwakilannya.

Penghuni Miangas, selain orang asli Miangas sendiri yang tinggal di sini, beberapa penduduk datang dari Sangihe maupun Talaud. Bahkan beberapa berasal dari suku-suku lainnya yang jauh dari P. Miangas, terutama adalah para petugas dari instansi resmi pemerintah (penjaga menara suar, aparat TNI-AL, TNI-AD, dan Polri).

Adapun Penduduk Desa Miangas berjumlah 203 Kepala Keluarga atau 762 jiwa, dengan rincian laki-laki 353 jiwa dan perempuan 399 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rumah, karena terdapat satu bangunan rumah yang dihuni oleh 2-3 Kepala Keluarga. Sebagian besar penduduk Miangas memeluk agam Protestan, dan 11 orang agama Islam dan 2 orang agama Katholik. Kehidupan antar umat beragama cukup baik dan penuh toleransi.

Penduduk Miangas perlu memperoleh suatu perhatian secara serius dari negara dan pemerintah Indonesia, karena taraf kesejahteraan dan sosialnya rendah. Adapun indikasinya, masyarakat Miangas menghadapi keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan sosial dasarnya, seperti kebutuhan pangan, kesehatan, tempat tinggal dan pendidikan. Terbatasnya sarana transportasi menuju Miangas, menyebabkan distribusi bahan makanan dan BBM sangat terbatas. Kondisi ini mengkibatkan harga kebutuhan pokok di Miangas jauh lebih mahal, dan bahkan sering kali bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut tidak tersedia. Terlebih lagi, setelah adanya Peraturan Menteri Perhubungan RI yang melarang kapal perintis memuat BBM, penduduk kesulitan untuk membawa BBM ke Miangas. Keterbatasan transportasi dan distribusi BBM tersebut ditambah lagi dengan perubahan cuaca yang menyebabkan gelombang besar, sehingga pada bulan Oktober – Maret penduduk tidak bisa melaut.

Rendahnya derajat kesejahteraan sosial penduduk Miangas dapat mendorong mereka
bermigrasi ke Talaud dan Manado atau pun ke Philipina. Lebih ekstrim lagi, dapat menimbulkan gangguan keamanan nasioanl, terutama berkenaan dengan keutuhan wilayah nasional (NKRI). Sebagaimana diketahui, bahwa secara geografis Pulau Miangas dan Negera Philipina sangat dekat, yaitu 78 mill atau dua – tiga jam perjalanan laut; dan masih banyak famili warga Miangas yang tinggal di Philipina bagian selatan (rstmopm).