Rabu, 21 Oktober 2009

TAMAN NASIONAL HALIMUN



Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) 40.000 ha. sejak tahun 1935, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha. di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada Tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, Departeman Kehutanan.



Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).



Berdasarkan SK tersebut penunjukan luas kawasan TNGHS adalah 113,357 ha dan terletak di Propinsi Jawa Barat dan Banten meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa.



Dilihat dari bentuk kawasannya, Taman Nasional Gunung Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang mengelilingi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjadi lebih panjang. Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi didalamnya terdapat beberapa enclave perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktivitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata massal.



Konon, banyak para petani tradisional maupun pendatang sudah tinggal sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal konservasi. Sehingga menjadi tantangan bagi pengelola, para pihak dan masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan di masa depan.



Obyek Wisata


Di TNGHS terdapat beberapa potensi obyek wisata alam, sejarah dan aktivitas budaya masyarakat lokal yang dapat dikembangkan menjadi paket-paket kegiatan pariwisata khususnya kegiatan ekowisata, seperti :



Air Terjun (Curug)


Keindahan air terjun merupakan salah satu daya tarik yang banyak diminati wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pada umumnya air terjun terbentuk karena terjadinya patahan kulit bumi sehingga aliran air terpotong membentuk loncatan air sesuai prinsip aliran air dari ketinggian ke tempat yang lebih rendah. TNGHS mempunyai banyak air terjun, seperti :



  • Curug Cimantaja dan Curug Cipamulan, terletak di desa Cikiray, kecamatan Cikidang dan kabupaten Sukabumi

  • Curug Piit (Curug Cihanjawar), Curug Walet dan

  • Curug Cikudapaeh, terdapat di sekitar Perkebunan Teh Nirmala

  • Curug Citangkolo, terletak di desa Mekarjaya, kecamatan Kabandungan, kabupaten Sukabumi

  • Curug Ciberang dan Curug Cileungsing, terletak di sekitar kampung Leuwijamang

  • Curug Ciarnisah, terletak di sekitar kampung Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

  • Di Gunung Salak terdapat beberapa curug diantaranya Curug Cangkuang (Cidahu); Curug Pilung (Girijaya); Curug Cibadak (Cijeruk); Curug Citiis (Ciapus); Curug Nangka (Taman Sari); Curug Ciputri (Tenjolaya); Curug Cihurang, Cirug Cigamea, Curug Ngumpet dan Curug Seribu (Pamijahan), Curug Cibereum (Jayanegara).

Puncak Gunung


TNGHS memiliki beberapa puncak gunung dengan ketinggian antara 1.700 – 2.211 m dpl. Secara resmi beberapa jalur pendakian ke puncak gunung di TNGHS belum dibuka dan ditata secara khusus. Tetapi beberapa puncak gunung dan hutan yang relatif masih lebat telah menarik didaki dan dikunjungi oleh berbagai kelompok pecinta alam, dengan memenuhi syarat pendakian : seperti membuat ijin pendakian, mempelajari peta jalur pendakian, pendakian didampingi petugas / orang yang sudah mengetahui jalur pendakian, mempersiapkan diri secara fisik dan perbekalan makanan yang cukup.


Beberapa puncak gunung yang menarik didaki :



  • Gunung Halimun Utara (1.929 m dpl.)

  • Gunung Botol (1.720 m dpl.)

  • Gunung Sanggabuana (1.919 m dpl.)

  • Gunung Kendeng Selatan (1.680 m dpl.)

  • Gunung Halimun Selatan (1758 m dpl.)

  • Gunung Puncak Salak 1 (2211 m dpl.)

  • Gunung Puncak Salak 2 (2190 m dpl.)


Di antara puncak-puncak yang umum dan menarik didaki di TNGHS adalah Puncak Gunung Salak 1 karena paling tinggi.
Adapun jalur pendakian ke puncak Gunung Salak sudah diketahui dan dirintis oleh para pendaki gunung melalui beberapa jalur masuk. Saat ini untuk mendaki Puncak Gunung Salak 1, harus dapat memenuhi persyaratan pendakian gunung dan mengurus ijin pendakian di Kantor BTNGHS di Kabandungan, Sukabumi.
Adapun jalur pendakian yang relatif aman dan umum digunakan adalah melalui jalur Javana Spa/Cangkuang, Cidahu –Simpang Kawah Ratu–Puncak Salak


1. Atau Pasir Reungit, Gunung Bunder–Kawah Ratu–Simpang Kawah/ Puncak Salak 1 – Puncak Salak 1



Kawah Ratu


Dengan dimasukannya Gunung Salak ke dalam pengelolaan TNGHS, saat ini terdapat fenomena alam yang menarik di TNGHS adalah Kawah Ratu, berada di lereng puncak Gunung Salak 1 dan di tengah hutan yang relatif masih baik. Untuk menuju tempat ini, dapat melalui jalur Cangkuang atau melalui Pasir Reungit, Gunung Bunder. Di lokasi ini pengunjung harus berhati-hati, tidak boleh lama dan terlalu dekat sumber-sumber uap panas, karena setiap saat dapat terjadi gas-gas beracun yang sangat berbahaya.


Bumi Perkemahan


Salah satu kegiatan yang dapat dikembangkan di TNGHS adalah berkemah di bumi perkemahan yang sudah tersedia sumber air dan kamar mandi. Lokasinya terdapat di Citalahab, Cikelat, Wates, Cangkuang, Sukamantri dan Gunung Bunder.

Candi Cibedug


Candi Cibedug terletak sekitar 10 km sebelah Barat desa Citorek yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam. Situs Candi yang berukuran kecil ini merupakan salah satu peninggalan kerajaan di Jawa Barat beberapa ratus tahun yang lalu. Situs ini banyak dikunjungi orang dari luar daerah untuk berziarah.


Gunung Batu dan Cadas Belang


Di dalam kawasan TNGHS juga terdapat lokasi-lokasi yang dipercayai mempunyai kekuatan spiritual, sehingga beberapa pengunjung datang untuk maksud berziarah. Seperti di Gunung Batu terdiri dari dinding batu yang terletak pada puncak bukit, sering digunakan untuk tempat penziarahan. Lokasi ini terletak di desa Mekarjaya dapat dicapai dengan jalan kaki sekitar 2 jam dari kampung Cigadog.


Stasiun Penelitian dan Wisma Peneliti Cikaniki


Lokasinya terdapat di dalam hutan Cikaniki dekat kampung Citalahab. Saat ini Stasiun Penelitian selain dapat digunakan untuk kegiatan penelitian juga dapat digunakan untuk kunjungan ekowisata.
Peneliti dan pengunjung ekowisata dapat menginap di Wisma Peneliti yang letaknya berdampingan dengan Stasiun Penelitian. Wisma ini berkapasitas 20 orang yang terdiri dari 1 kamar VIP dan 4 kamar standard yang dapat diisi masing-masing 4 orang.

Jalur Interpretasi (Loop Trail) dan Wisma Tamu Citalahab
Jalan setapak Cikaniki - Citalahab sepanjang 3,8 km dibuat pada tahun 1997, jalur ini telah dilengkapi dengan pal hekto meter (HM), papan petunjuk dan shelter. Setelah HM 15, pada jalur ini terdapat dua alternalif jalan yaitu yang langsung ke kampung Citalahab Sentral dimana terdapat wisma tamu dan home stay yang dikelola masyarakat lokal atau yang berputar ke perkebunan teh Nirmala blok Citalahab Bedeng sekitar 3,8 km. Sepanjang jalur ini dapat menikmati berbagai flora fauna menarik yang akan memberi pengalaman baru bagi pengunjung berjalan di dalam hutan tropis.


Jembatan Tajuk (Canopy Trail)


Jembatan gantung yang menghubungkan antara pepohonan sepanjang 100 m, lebar 0,6 m dengan ketinggian 20–25 m dari atas tanah dilengkapi dengan tangga naik. Jembatan ini terletak sekitar 200 m dari Stasiun Penelitian Cikaniki.

Sumber Air Panas


Di TNGHS terdapat beberapa sumber air panas yang masih alami seperti di Cisukarame dan di Gunung Menir, maupun yang sudah dibuka sebagai tempat rekreasi, seperti di Gunung Salak Endah, Cisolok dan Cipanas.



Perkebunan
Perkebunan di sekitar TNGHS termasuk pemandangan alam yang menarik dan banyak dijumpai dalam perjalanan menuju kawasan TNGHS. Umumnya di wilayah kabupaten Sukabumi dan
Bogor terdapat beberapa perkebunan teh yaitu perkebunan teh Jayanegara, Cianten, Pasir Madang dan Parakansalak. Bahkan jauh sebelum TNGHS ditetapkan, di tengah taman nasional juga terdapat enclave perkebunan teh Nirmala yang luasnya sekitar 997 ha. Selain perkebunan teh saat ini disekitar TNGHS juga terdapat perkebunan kelapa sawit, seperti di Kelapa Nunggal, Cikidang, Cisolok dan juga sepanjang jalan dari Cigudeg di kabupaten Bogor menuju kota Rangkasbitung, kabupaten Lebak.
Arung Jeram dan Pantai Selatan



Perjalanan dari Sukabumi atau Cibadak menuju Pelabuhanratu dan terus ke Bayah selain menyusuri bagian tenggara atau selatan TNGHS juga akan melintasi jalur wisata arung jeram (sungai Citarik dan sungai Citatih) serta pantai selatan yang indah seperti pantai Karang Hawu, Karang Taraje dan Sawarna.

Seren Taun


Masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul yang tinggal di sekitar TNGHS sampai saat ini masih mempunyai karakteristik budaya yang khas. Dimana setiap tahun setelah panen padi mereka mengadakan kegiatan adat yang disebut seren taun sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan dalam pertanian khususnya padi yang merupakan makanan pokok masyarakat.
Kegiatan seren taun selain untuk warga kasepuhan juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum lainnya termasuk untuk kunjungan wisata budaya karena banyak kegiatan menarik yang dapat dilihat. Jadwal pelaksanaannya antara bulan Juni - Desember setiap tahun, tergantung perhitungan waktu masing-masing kelompok kasepuhan. Beberapa seren taun yang menarik untuk dikunjungi dan dilihat adalah seren taun di kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Ciptamulya, Cicarucub, Cisitu, Cisungsang, Citorek dan
Urug.



Kuburan Keramat dan situs-situs masa lampau


Selain situs Candi Cibedug dan Gunung Batu di TNGHS juga terdapat beberapa kuburan keramat dan situs-situs lainnya yang belum terungkap, bahkan ada yang berbentuk “batu berundak” seperti peninggalan masa-masa kerajaan dahulu. Walaupun terdapat di lokasi yang cukup sulit, sering orang berkunjung untuk berziarah seperti ke kuburan keramat di puncak Gunung Salak 1 dan ke lereng puncak Halimun Selatan.
Beberapa lokasi situs lainnya seperti situs Genterbumi di kampung Pangguyangan, situs Ciawitali di Gunung Bodas dan situs Ciarca di kecamatan Cikakak, situs Girijaya di kecamatan Cidahu, Sukabumi, situs Cibalay di kecamatan Tenjolaya, situs Batu Kipas, Lewijamang di kecamatan Sukajaya, Bogor dan situs Gunung Bedil di kecamatan Cibeber, Lebak.
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak


Masyarakat Lokal


Jumlah penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan bukan kasepuhan. Untuk masyarakat kasepuhan, secara historis penyebaranya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan masih memiliki susunan organisasi secara adat yang terpisah dari struktur organisasi pemerintahan.



Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama (sunda wiwitan). Masyarakat kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.



Untuk mencapai desa-desa tersebut dengan kendaraan umum, baik dari Jakarta atau Bogor, dibutuhkan waktu empat hingga delapan jam. Kadangkadang kita harus berjalan kaki satu atau dua jam karena kondisi jalan masih berbatu kasar.
Semangat bergotong royong masih sangat kuat di beberapa wilayah termasuk pada sistem bertani mereka. Sudah biasa masyarakat bekerjasama dalam keluarga dan tetangga apabila tenaga kerja, komoditas / bahan-bahan pertanian dan makanan tidak mencukupi.



Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren taun.



Pengetahuan dan penggunaan jenis-jenis padi lokal menunjukkan pentingnya beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut: Setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa tahun. Di dataran tinggi padi ditanam sebagaimana halnya sayur-sayuran seperti : jagung, singkong ataupun kacangkacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Setelah panen, tergantung pada kondisi tanah, masyarakat memutuskan apakan berladang lagi atau tidak. Keputusan mereka berdasarkan pada kondisi kandungan air dalam lahan tersebut yang tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Dengan demikian ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah digarap terus menerus. Dan apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diubah menjadi jami (tanaman sekunder) untuk satu atau dua tahun. Di lahan ini padi tidak ditanam sama sekali, melainkan tanaman menahun (tanaman tahunan) yang ditanam. Setelah lahan digunakan ‘jami’, ada dua alternatif yang akan dipakai, pertama adalah meninggalkan lahan tanpa dipotong atau dibersihkan. Semak dibiarkan selama 3 - 4 tahun yang disebut ‘reuma ngora’ (semak belukar). Sedangkan semak yang dibiarkan selama lebih dari 4 tahun disebut ‘reuma kolot’ (hutan sekunder).



Pembagian ini berdasarkan pada tahapan suksesi tumbuhan. Setelah itu, lahan tertutup secara alami menjadi hutan sekunder dengan pepohonan tinggi. Jadi siklus penggunaan hutan pun telah berakhir. Cara atau alternatif yang kedua adalah menggunakan lahan untuk kebun, yaitu setelah jami dipanen. Di kebun ini tanaman menahun ditanam untuk kebutuhan sehari-hari. Buah-buahan seperti pisang, durian, anakan pohon alami dan pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat yang digunakan untuk konstruksi rumah serta tanaman berguna seperti bambu dan rotan juga ditanam untuk kebutuhan sehari-hari.



Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohonpohon yang ditanam menjadi tinggi dan kebun ini disebut juga kebun talun. Pada lapisan bawah dari kebun talun, terus ditanami tanaman menahun. Dengan adanya suksesi pohon-pohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut talun. Pada tahap ini hanya ada beberapa tanaman menahun, karena di bagian bawah menjadi gelap. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang dan durian, juga menyadap air nira dari pohon kawung (aren). Pengambilan air nira ini tidak hanya untuk dikonsumsi saja tetapi juga untuk dijual ke pasar.



Masyarakat kasepuhan menggunakan dan melindungi hutan berdasarkan konsep turun-temurun seperti adanya ‘leuweung titipan’ (hutan titipan), ‘leuweung tutupan’ (hutan tutupan) dan ‘leuweung sampalan’ (hutan bukaan). Mereka masih memiliki interaksi yang kuat dengan hutan sekitarnya. Mereka juga mempunyai pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Mereka mengetahui lebih dari 400 jenis dan menggolongkannya berdasarkan penggunaannya seperti bahan bangunan, kayu bakar, bahan dan alat pertanian, obat-obatan, makanan, upacara adat dan lain-lain. Sejak dari dahulu hingga sekarang, pengetahuan tersebut sudah diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini jelas sekali bahwa masyarakat lokal masih mengandalkan pada tumbuhtumbuhan dari hutan. Dilemanya, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di sekitar TNGHS baik yang masyarakat lokal maupun masyarakat pendatang, saat ini penggunaan tumbuhtumbuhan dan satwa dari hutan sudah tidak sesuai dengan kondisi umum sumber daya hutan yang semakin terbatas, karena dapat mengancam keutuhan hutan dan sumber daya air masyarakat.



Untuk itu ditetapkannya pengelolaan taman nasional agar dapat mengakomodir antara kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan TNGHS dengan menetapkan adanya pembagian zonasi. Di dalam taman nasional dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona khusus, sedangkan di luar taman nasional biasa ditetapkan sebagai zona penyangga. Dengan adanya zonasi dapat memberi kepastian bagi masyarakat untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di zona pemanfaatan, zona khusus dan zona penyangga. Seperti pengembangan kampung-kampung yang berorientasi konservasi dengan mengadakan berbagai aktivitas konservasi seperti penanaman pohon-pohon asli yang bermanfaat, energi alternatif, ekowisata dan program ekonomi berkelanjutan.
Secara jangka pendek aktivitas di atas dapat membantu masyarakat untuk menjalakan kehidupannya tanpa menyebabkan kerusakan hutan. Sedangkan dalam jangka panjang, kegiatan pendidikan lingkungan dan peningkatan kesadaran konservasi untuk masyarakat akan dapat menumbuhkan rasa menghargai terhadap kekayaan hutan sekitar mereka dan juga akan efektif bagi konservasi keanekaragaman hayati TNGHS di masa mendatang(rstmopm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar