Senin, 17 Mei 2010

KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI TENGAH


Berbagai macam kesenian Tradisional Sulawesi Tengah yang sampai sekarang masih digemari masyarakat, dan diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu seperti modero, vaino, Dadendate, Kakula, Lumense serta Peule Cinde, Mamosa, Morego, Pajoge, dan Balia.

Kesenian tradisional Modero, tarian yang dibawakan oleh golongan tua dan muda pada waktu pesta panen (vunja). Tarian ini ditarikan di tengah sawah, biasanya sampai pagi hari. Tujuan dari tarian ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas keberhasilan panen, sekaligus merupakan hiburan bagi para petani setelah bekerja keras.

Selanjutnya untuk Vaino, merupakan pembacaan syair-syair yang dibawakan secara bersahut-sahutan. Biasanya dilakukan pada waktu pesta kedukaan, yaitu di antara malam-malam dari hari ke- 3 sampai hari ke- 40 setelah kematian.

Sedangkan Dadendate, dapat dikategorikan sebagai seni suara, berupa nyanyian yang dilagukan semalam suntuk oleh seorang pria dan seorang wanita secara bergantian dengan iringan alat musik gambus. Syair yang dinyanyikan berisikan sindiran yang sifatnya membangun. Kesenian ini pada umunmya digemari oleh semua lapisan umur dalam masyarakat.

Untuk kesenian tradisional Kakula, yaitu sejenis kesenian yang menggunakan seperangkat alat musik, terdiri dari 15 buah kakula, 2 buah tambur, dan sebuah gong.
Untuk jenis tarian yang disuguhkan untuk menyambut tamu-tamu terhormat, yang diakhiri dengan menaburkan bunga kepada para tamu sering dinamai tarian . Lumense dan Peule Cinde
Mamosa, merupakan tarian perang yang dibawakan oleh seorang penari pria dengan membawa parang dan perisai kayu, yang ditarikan dengan gerakan melompat-lompat seperti menangkis serangan. Tarian ini diiringi alat musik gendang dan gong.

Sedanngkan Morego, sejenis tarian untuk menyambut kepulangan para pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan. Sebelum tarian ini ditarikan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti meminta restu kepada pemangku adat, kemudian mencari wanita pasangan menari yang belum menikah.

Selanjutnya, Pajoge, merupakan tarian yang berasal dari lingkungan istana, dan biasanya ditarikan pada waktu ada pesta pelantikan raja. Tarian ini merupakan hasil pengaruh unsur kesenian dari kebudayaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Para penarinya terdiri dari tujuh penari wanita dan seorang penari pria.

Balia, merupakan sejenis tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda keramat, khususnya yang berhubungan dengan pengobatan tradisional terhadap seseorang yang terkena pengaruh roh jahat.

Kalau dilihat dari kesenian tari, wilayah Sulawesi tengah akan kaya dengan seni budayanya. Hanya saja, cara untuk melestarikan serta mempertahankan serta mempromosikannya perlu mendapat perhatian secara maksimal dari pemerintah daerah (rstmopm).

Rabu, 05 Mei 2010

SENI BUDAYA SULAWESI TENGAH

Suku bangsa Kaili merupakan penduduk mayoritas di propinsi Sulawesi Tengah, di samping suku-suku bangsa besar lainnya seperti Dampelas, Kulawi, dan Pamona. Orang Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan orang Kulawi dan Pamona merupakan penganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya, yaitu Balaesang, Tomini, Lore, Mori, Bungku, Buol Toli-toli, dan lain-lain.
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek moyang. Mereka mengakui bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang disebut Tomanuru, yaitu orang yang menjelma dari suatu tumbuh-tumbuhan tertentu yang merupakan titisan/jelmaan dari seorang dewa.

Di samping penduduk asli, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara. Bahkan ada sebuah catatan sejarah yang menyatakan, bahwa raja-raja dari Sulawesi Selatan (seperti Bone, Gowa, dan Luwu) pernah lama berkuasa di Sulawesi Tengah, sehingga sampai dewasa ini masih terlihat adanya peninggalan-peninggalan unsur budaya yang memiliki ciri-ciri Bugis-Makassar, seperti bentuk rumah, adat istiadat, perkawinan, tata cara bertani, sistem kekerabatan, sistem mata pencaharian hidup, dan sebagainya.

Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ini terutama masih dianut oleh penduduk yang bermukim di daerah pedalaman, atau mereka yang termasuk kelompok masyarakat terasing di Sulawesi Tengah, seperti suku bangsa Tolare, Wana, Seasea, dan Daya. Inti dari kepercayaan warisan nenek moyang ini antara lain kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk halus, yang dianggap sebagai kekuatan gaib, sebagai tempat berlindung dan bermohon, dengan melalui cara-cara tertentu atau dengan suatu upacara khusus. Banyak nama dan jenis makhluk halus yang dikenal, yang mendiami dan menguasai hutan, gunung, sungai, batu-batu besar, kuburan keramat (disebut anitu) atau laut. Penduduk setempat mengenal jenis-jenis makhluk halus yang sering menjelma sebagai orang pendek yang disebut topepa, makhluk halus yang menjelma menjadi bermacam-macam binatang (kalomba), atau roh-roh orang yang mati terbunuh waktu perang yang sering menampakkan diri tanpa kepala.

Roh atau makhluk halus dibedakan atas dua jenis, yaitu roh halus dari manusia yang telah meninggal karena disebut taulerultalivarani dan roh halus dari manusia yang mati dalam keadaan tidak wajar, seperti pontiana (roh orang mati karena melahirkan). Selain itu ada makhluk-makhluk halus yang menghuni sekitar tempat kehidupan manusia, yang dianggap sebagai penguasa alam dan sering mengganggu manusia. Agar tidak mengganggu manusia dan menimbulkan malapetaka, maka manusia harus mengadakan komunikasi secara khusus melalui upacara ritual dengan mempersembahkan sesaji.

Kepercayaan lain yang masih diyakini masyarakat ialah kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan ilmu hitamnya dapat membunuh orang lain dengan kekuatan roh jahatnya. Orang demikian disebut topeule, yang ditakuti masyarakat karena gangguan roh jahat (mbalasa) yang dimanfaatkannya dapat membuat orang sakit atau meninggal. Kepercayaan akan kematian seseorang sebagai akibat gangguan makhluk halus masih terasa dalam setiap upacara pengobatan tradisional, yaitu upacara balia. Oleh sebab itu peranan dukun (tobalia) sangat penting dalam mengobati orang-orang sakit atau sebagai penghubung antara manusia dengan roh halus.

Penduduk setempat juga percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai tempat-tempat tertentu, dan mereka dianggap sebagai dewa penguasa (pue) tempat-tempat tersebut. Makhluk halus yang menguasai laut disebut pue ntasi, yang menguasai tanah disebut pue ntana, yang menguasai hutan disebut pue nggayu, dan lain-lain.

Demikian pula masyarakat setempat masih mempercayai adanya benda-benda sakti, seperti tana sanggamu (tanah segenggam) yang diyakini sebagai salah satu benda sakti. Bila benda tersebut dibuka dari ikatannya, akan dapat mengakibatkan berbagai peristiwa alam misalnya gempa bumi, bencana alam, dan lain-lain. Di samping itu dikenal benda-benda sakti yang dapat digunakan sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat menjadi kebal terhadap senjata tajam, anti guna-guna, tidak diganggu hantu, dan sebagainya. Benda-benda sakti ini dapat berupa keris, cincin, parang, potongan kayu, dan lain-lain.

Dengan masuknya agama Islam sebagai agama mayoritas serta agama-agama lain (terutama Kristen), kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tersebut belum hilang sama sekali, bahkan tumbuh dan berkembang bercampur dengan agama dalam bentuk sinkretisme. Hal ini dapat disaksikan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat yang sudah merupakan perpaduan antara sistem kepercayaan lama dan agama. Meskipun demikian upacara-upacara yang dianggap kurang sesuai dengan agama berangsur-angsur hilang dalam bentuk aslinya, tinggal sisa-sisanya yang dikembangkan dalam simbol-simbol tertentu. Keadaan seperti ini terutama berlaku dalam suku-suku bangsa yang sudah memeluk salah satu agama.


Demikian pula halnya dengan nilai-nilai yang dimiliki suku-suku bangsa pendukung kebudayaan Sulawesi Tengah berorientasi pada ajaran agama Islam dan Kristen serta adat istiadat yang masih sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini. Nilai-nilai yang berlandaskan ajaran agama Islam terungkap dalam kata-kata Adat bersendikan syara (adat berlandaskan ajaran agama Islam), sedangkan yang berdasarkan ajaran agama Kristen menitikberatkan akan "kasih terhadap sesama". Semua ini dijadikan pedoman dan sistem pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, agar tercipta keteraturan yang terkendali serta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.

Masyarakat Sulawesi Tengah juga mengembangkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.

Demikian pula masyarakat Sulawesi Tengah mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa didampingi seorang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orangtua dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan seseorang yang dianggap dapat merugikan orang lain juga diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya pelaku pelanggaran adat akan dikenakan denda adat atau sanksi sosial lainnya, seperti menjadi bahan pembicaraan atau ejekan masyarakat, dikucilkan dari masyarakatnya, diusir dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan terjadi pembunuhan sebagai tindakan balas dendam, atau bentuk-bentuk denda dan sanksi lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita dengan sengaja sampai pada perbuatan melanggar susila (pelanggaran yang dilakukan disebut salah kana), maka pelakunya bisa saja dibunuh oleh keluarga pihak wanita yang diganggu. Kalau pembunuhan tidak sampai terjadi, pelanggar akan dikenakan denda seperti yang telah ditentukan oleh adat.

Selain itu adat juga menetapkan beberapa larangan, seperti seorang laki-laki tidak boleh dengan sengaja melihat perempuan yang sedang mandi, salah berbicara sehingga menyebabkan orang lain tersinggung, seorang wanita tidak boleh menerima laki-laki lain jika suaminya sedang tidak berada di rumah, dan lain-lain. Pendidikan budi pekerti ditanamkan dalam diri individu sejak dia masih berusia anak-anak, dan biasanya dilakukan oleh orangtua sesudah makan malam.

Demikian pula dalam masyarakat dikembangkan sopan santun dalam hubungan kekerabatan, misalnya bagaimana harus bersikap, berkata-kata dan bertindak terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua usianya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka yang tergolong muda harus bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tua usianya, serta mereka yang berasal dari golongan yang lebih tinggi status sosial dan kedudukannya dalam masyarakatnya. Sebaliknya golongan tua harus dapat bersikap hati-hati dalam memberikan contoh yang baik untuk diteladani oleh para generasi muda.

Pendidikan moral ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada ayah mereka.

Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).

Pada masyarakat Sulawesi Tengah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya (tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-pembantunya), dan organisisasi sosial kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi wanita, dan sebagainya.

Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah mendapat banyak pengaruh kebudayaan dari luar, namun pendidikan moral dan agama masih terus dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarga. Demikian pula walaupun masyarakat Sulawesi Tengah menerima banyak pembaharuan dari unsur-unsur kebudayaan luar, namun secara keseluruhan mereka dapat mempertahankan ketradisionalan dalam unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki (rstmopm).

Rabu, 28 April 2010

KEPULAUAN KARIMUNJAWA DAYA TARIK TERSENDIRI

Lokasi alam yang indah dan relative masih murni, Kepulauan Karimunjawa menawarkan daya tarik wisata yang menjanjikan. Wisata bahari dan wisata petualang alam, mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung di lokasi tetrsebut.
Selain lingkungan alam yang indah, penduduk Karimunjawa multietnis. Kawasan inipun menarik untuk disimak secara dekat atas berbagai keunikan budaya dan tradisinya. Pulau Karimunjawa, dapat disebut sebagai mininya nusantara lantaran campur baurnya etnis. Ada jawa, bugis dan makasar.

Penghuni penduduk di Kepulauan Karimunjawa, terdiri dari suku yang memiliki indentitas tersendiri, seperti, bentuk bangunan yang khas. Banyak Jawa mendiami di beberapa perkampungan Dukuh Karimun, Dukuh Legon Lele, Nyamplungan dan dukuh Mrican.
Masyarakat suku Jawa ini, mayoritas mata pencahariannya sebagai petani dan membuat industri rumah tangga seperti, batu bata, dan membuat minyak kelapa.


Berbeda suku Bugis, masyarakatnya sebagian besar mendiami di Pulau Kemijan, Dukuh Batu Lawang, Legon Gede, dan Duku Tlogo. Masyarakat Bugis terkenal dengan pelaut yang tangguh, oleh itu sebagian besar masyarakatnya disana berprofesi sebagai nelayan.
Hampir sama dengan masyarakat Bugis, Masyarakat Madura yang tinggal di Kepulauan Karimun pun sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Merek pun mempunyai keahlian membuat ikan kering sebagai industri rumah tangga.

Sedangkan keunikan wisata bahari, menawarkan berbagai aktivitas kegiatan wisata dan olah raga yang berhubungan dengan alam. Kepulauan Karimunjawa.Beberapa aktivitas wisata dan olah raga yang dapat dilakukan di kawasan ini seperti, menyelam.Kegiatan menyelam dapat dilakukan di sebelah timur pulau Manjangan Besar, dan masih banyak lagi lokasi selam lainnya.
Kepulauan yang masih perawan ini, dapat ditempuh perjalanan dengan melalui laut, dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang dan dari Jepara lewat pelabuhan Kartini.
Dari pelabuhan tanjung Emas, Semarang, menggunakan Kapal Motor Cepat (KMC) Kartini I, dewngan jadwal layar sepakan dua kali. Hari sabtu pukul 09.00 dan pada hari Senin pukul 07.00.

Sementara berangkat dari Jepara, dapat ditempuh setiap hari Senin, Sabtu dan Rabu. Waktu pagi sekitar 09.00 – 10.00.
Sedangkan untuk route kembalinya, pelayaran dilakukan setiap hari Minggu dan Selasa pada pagi dan sore hari.

Apabila bepergian ke Kepulauan Karimunjawa untuk bermalam, tidaklah kesusahan untuk mencari tempat istihat. Sarana akomodasi dari jenis pondok tinggal, wisma, pondok apung, sampai dengan hotel tersedia di sana. Adapun tariff penginapan sangat bervariasi dari 40 ribu rupiah hingga 300 ribu rupiah. Fasilitas akomodasi ini tersedia di beberapa pulau yang ada di Kepulauan Karimunjawa.

Selain alamnya dan akomudasi yang serba waaah, factor penduduk dan tradisinya disana membuat Kepulauan Karimunjawa memiliki daya tarik wisata budaya dan ziarah. Berbagai atarksi budaya terdapat di kawasan ini, seperti, reog, pencak silat, rebana, dan gamelan jawa. Ada juga atraksi atraksi ritual seperti, khoull Sunan Nyamlungan yang sering diperingati setiap satu suro********.

Selasa, 24 November 2009

MENGENAL LEBIH DEKAT KOTA FAK-FAK

Setelah kaki kulangkahkan di Merauke, kini, selanjutnya melangkahkan kaki menuju kota Fak-fak. Kono ceriteranya, Kabupaten Fak-Fak ini sudah berdiri selama kurang lebih 118 tahun, karena itulah Kabupaten Fak-Fak ini disebut sebagai kota perjuangan. Selain itu, ada yang menceriterakan yang lebih menarik mengenai keadaan masyarakat di Kabupaten Fak-Fak ini, yaitu mengenai kerukunan beragamanya.
Memang kenyataan yang ada, setelah sampai di kota Fak-fak, soal kerukunan umat beragama, hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak perlu ditanyakan dalam masyarakat di Kabupaten Fak-Fak. Tiga agama besar yang ada di Kabupaten Fak-Fak adalah Muslim, Katolik, dan Protestan. Dalam masyarakat di Kabupaten Fak-Fak, ada istilah satu tungku tiga batu.
Satu tungku tiga batu ialah istilah yang dipakai untuk menggambarkan bahwa di dalam satu keluarga, keanekaragaman dalam beragama itu merupakan hal yang biasa. Jadi, di dalam suatu keluarga, kerukunan tetap terjaga meskipun keyakinan mereka berbeda-beda.
Kalau Mengunjungi Kabupaten Fak-Fak akan memberikan kenangan yang tak terlupakan dalam benak Anda. Menikmati pemandangan alam dan mengenal lebih dalam mengenai hal-hal menarik di kota perjuangan ini akan membuat pengalaman Anda semakin berkesan.
Kapan aku bisa datang kesini lagi ? mungkin bulan madu nanti . . . . . . . (rstmopm)

Senin, 23 November 2009

ASYIKNYA di TAMAN NASIONAL WASUR MERAUKE

(Wasur Merauke) - Merauke merupakan salah satu kota Kabupaten dari 29 kota Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Papua. Kota ini, letaknya paling timur wilayah Indonesia dan mempunyai potensi wisata alam yang menarik.

Obyek wisata kota Merauke yang menarik seperti, wisata alam, sejarah, dan budaya. Wisata alam meliputi pantai-pantai yang terletak disebalah selatan, taman nasional, suaka marga satwa atau cagar alam, dan penangkaran buaya.


Dikota ini, memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Sedangkan dunia pariwisata dan budaya merupakan salah satu potensi pendukung. Sementara sector pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan merupakan sector unggulan.

Untuk wisata sejarah, adanya tugu Pepera yang menceriterakan atas kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi (RI). Selain itu, adanya tugu peringatan masuknya agama Katolik di Merauke.


Sementara wisata budaya, disini dapat dilihat pada saat menerima tamu atau saat upacara adat, seperti kota distrik Kimaam, setiap bulan Agustus diadakan festival Dambu yang menampilkan tari dan gulat tradisional.


Distrk Kimaam merupakan lokasi paling jauh dari Merauke. Setidaknya dari membutuhkan waktu 45 menit perjalanan dengan pesawat perintis atau 12 Jam dengan Kapal motor (KM) karena di daerah ini belum ada rutte jalan darat..
Wisata alam, pantai yang cukup dikenal disini adalah Pantai Lampu Satu yang terletak di kampong Imbuti, sekitar 4 Km dari pusat kota Merauke. Diberi nama Lampu satu, lantaran di pantai ini ada mercusuar yang berdiri tegak dan kokoh menghadap kelaut. Dipantai dengan hamparan pasir memanjang ini, kita bisa melihat matahari tenggelam (Sunset).

Suasana serupa juga terdapat di Pantai Natsai atau Kadang juga disebut Pantai Wendu. Letaknya, sekitar 25 Km dari pusat kota dan pantai ini bisa dibilang pantai mati. Tiada manusia yang beraktivitas di pantai ini hanya beberapa sebagian kecil pondok seadanya yang masih ada.

Taman Nasional Wasur
Perjalanan menuju Taman Nasional Wasur, disepanjang lintasan akan terlihat tanah tanah gundukan setinggi 2 – 7 meter di tepi jalan. Tanah gundukan tersebut bukanlah gundukan tanah belaka, melainkan merupakan rumah-rumah semut yang dibangun bertahun tahun. Penduduk disekitarnya menyebutnya “Musamus”. Rumah semut ini menjadi symbol semangat bagi masyarakat setempat.


Upaya menuju TN Wasur, jarak tempuhnya cukup jauh dari Kota Merauke terlebih belum terdapatnya sarana transportasi umum. Kendati jaraknya dari kota Merauke 15 Km, dibutuhkan waktu kira-kira 1 jam perjalanan (jangan lupa bawa air).


Keanehan TN Wasur, sekitar 70 persen dari luas kawasannya berupa vegetasi savanna, sedang lainnya berupa vegetasi hutan rawa, hutan musim, hutan pantai, hutan bamboo, padang rumput, dan hutan rawa sagu yang cukup luas. Jenis tumbuhan yang mendominasi antara lain, apai-api (Avicenia sp), tancang (Bruguiera sp)Ketapang (Terminalia sp), dan kayu putih (Melaleuca sp).

Sedangkan satwa yang sering dijumpai disini, seperti, Kanguru pohon, Kesturi Raja, Kaswari Gelambir, Dara Mahkota/Mambruk, Cindrawasih Raja, Cindrawasih Merah, Buaya air tawar, dan buaya air asin.

Salah satu daerah yang tak kalah menariknya di TN Wasur ini, Danau Rawa Biru. Disini berbagai jenis satwa seperti burung migrant, Walabi, dan Kasuari sering dating dan menghuni di Danau tersebut. Danau ini sering disebut “Tanah Air)karena ramainya berbagai kehidupan satwa - satwa.

Perjalanan dari jayapura menuju Merauke dapat menggunakan pesawat terbang. Setelah itu, menggunakan kendaraan roda empat ke lokasi melalui jalan Trans Irian. Musim kunjungan terbaik antara bulan Juli – November. Selamat menikmati perjalanan yang tidak menjemukan ini (rstmopm)

Rabu, 21 Oktober 2009

TAMAN NASIONAL HALIMUN



Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) 40.000 ha. sejak tahun 1935, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha. di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada Tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, Departeman Kehutanan.



Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).



Berdasarkan SK tersebut penunjukan luas kawasan TNGHS adalah 113,357 ha dan terletak di Propinsi Jawa Barat dan Banten meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa.



Dilihat dari bentuk kawasannya, Taman Nasional Gunung Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang mengelilingi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjadi lebih panjang. Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi didalamnya terdapat beberapa enclave perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktivitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata massal.



Konon, banyak para petani tradisional maupun pendatang sudah tinggal sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal konservasi. Sehingga menjadi tantangan bagi pengelola, para pihak dan masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan di masa depan.



Obyek Wisata


Di TNGHS terdapat beberapa potensi obyek wisata alam, sejarah dan aktivitas budaya masyarakat lokal yang dapat dikembangkan menjadi paket-paket kegiatan pariwisata khususnya kegiatan ekowisata, seperti :



Air Terjun (Curug)


Keindahan air terjun merupakan salah satu daya tarik yang banyak diminati wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pada umumnya air terjun terbentuk karena terjadinya patahan kulit bumi sehingga aliran air terpotong membentuk loncatan air sesuai prinsip aliran air dari ketinggian ke tempat yang lebih rendah. TNGHS mempunyai banyak air terjun, seperti :



  • Curug Cimantaja dan Curug Cipamulan, terletak di desa Cikiray, kecamatan Cikidang dan kabupaten Sukabumi

  • Curug Piit (Curug Cihanjawar), Curug Walet dan

  • Curug Cikudapaeh, terdapat di sekitar Perkebunan Teh Nirmala

  • Curug Citangkolo, terletak di desa Mekarjaya, kecamatan Kabandungan, kabupaten Sukabumi

  • Curug Ciberang dan Curug Cileungsing, terletak di sekitar kampung Leuwijamang

  • Curug Ciarnisah, terletak di sekitar kampung Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

  • Di Gunung Salak terdapat beberapa curug diantaranya Curug Cangkuang (Cidahu); Curug Pilung (Girijaya); Curug Cibadak (Cijeruk); Curug Citiis (Ciapus); Curug Nangka (Taman Sari); Curug Ciputri (Tenjolaya); Curug Cihurang, Cirug Cigamea, Curug Ngumpet dan Curug Seribu (Pamijahan), Curug Cibereum (Jayanegara).

Puncak Gunung


TNGHS memiliki beberapa puncak gunung dengan ketinggian antara 1.700 – 2.211 m dpl. Secara resmi beberapa jalur pendakian ke puncak gunung di TNGHS belum dibuka dan ditata secara khusus. Tetapi beberapa puncak gunung dan hutan yang relatif masih lebat telah menarik didaki dan dikunjungi oleh berbagai kelompok pecinta alam, dengan memenuhi syarat pendakian : seperti membuat ijin pendakian, mempelajari peta jalur pendakian, pendakian didampingi petugas / orang yang sudah mengetahui jalur pendakian, mempersiapkan diri secara fisik dan perbekalan makanan yang cukup.


Beberapa puncak gunung yang menarik didaki :



  • Gunung Halimun Utara (1.929 m dpl.)

  • Gunung Botol (1.720 m dpl.)

  • Gunung Sanggabuana (1.919 m dpl.)

  • Gunung Kendeng Selatan (1.680 m dpl.)

  • Gunung Halimun Selatan (1758 m dpl.)

  • Gunung Puncak Salak 1 (2211 m dpl.)

  • Gunung Puncak Salak 2 (2190 m dpl.)


Di antara puncak-puncak yang umum dan menarik didaki di TNGHS adalah Puncak Gunung Salak 1 karena paling tinggi.
Adapun jalur pendakian ke puncak Gunung Salak sudah diketahui dan dirintis oleh para pendaki gunung melalui beberapa jalur masuk. Saat ini untuk mendaki Puncak Gunung Salak 1, harus dapat memenuhi persyaratan pendakian gunung dan mengurus ijin pendakian di Kantor BTNGHS di Kabandungan, Sukabumi.
Adapun jalur pendakian yang relatif aman dan umum digunakan adalah melalui jalur Javana Spa/Cangkuang, Cidahu –Simpang Kawah Ratu–Puncak Salak


1. Atau Pasir Reungit, Gunung Bunder–Kawah Ratu–Simpang Kawah/ Puncak Salak 1 – Puncak Salak 1



Kawah Ratu


Dengan dimasukannya Gunung Salak ke dalam pengelolaan TNGHS, saat ini terdapat fenomena alam yang menarik di TNGHS adalah Kawah Ratu, berada di lereng puncak Gunung Salak 1 dan di tengah hutan yang relatif masih baik. Untuk menuju tempat ini, dapat melalui jalur Cangkuang atau melalui Pasir Reungit, Gunung Bunder. Di lokasi ini pengunjung harus berhati-hati, tidak boleh lama dan terlalu dekat sumber-sumber uap panas, karena setiap saat dapat terjadi gas-gas beracun yang sangat berbahaya.


Bumi Perkemahan


Salah satu kegiatan yang dapat dikembangkan di TNGHS adalah berkemah di bumi perkemahan yang sudah tersedia sumber air dan kamar mandi. Lokasinya terdapat di Citalahab, Cikelat, Wates, Cangkuang, Sukamantri dan Gunung Bunder.

Candi Cibedug


Candi Cibedug terletak sekitar 10 km sebelah Barat desa Citorek yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam. Situs Candi yang berukuran kecil ini merupakan salah satu peninggalan kerajaan di Jawa Barat beberapa ratus tahun yang lalu. Situs ini banyak dikunjungi orang dari luar daerah untuk berziarah.


Gunung Batu dan Cadas Belang


Di dalam kawasan TNGHS juga terdapat lokasi-lokasi yang dipercayai mempunyai kekuatan spiritual, sehingga beberapa pengunjung datang untuk maksud berziarah. Seperti di Gunung Batu terdiri dari dinding batu yang terletak pada puncak bukit, sering digunakan untuk tempat penziarahan. Lokasi ini terletak di desa Mekarjaya dapat dicapai dengan jalan kaki sekitar 2 jam dari kampung Cigadog.


Stasiun Penelitian dan Wisma Peneliti Cikaniki


Lokasinya terdapat di dalam hutan Cikaniki dekat kampung Citalahab. Saat ini Stasiun Penelitian selain dapat digunakan untuk kegiatan penelitian juga dapat digunakan untuk kunjungan ekowisata.
Peneliti dan pengunjung ekowisata dapat menginap di Wisma Peneliti yang letaknya berdampingan dengan Stasiun Penelitian. Wisma ini berkapasitas 20 orang yang terdiri dari 1 kamar VIP dan 4 kamar standard yang dapat diisi masing-masing 4 orang.

Jalur Interpretasi (Loop Trail) dan Wisma Tamu Citalahab
Jalan setapak Cikaniki - Citalahab sepanjang 3,8 km dibuat pada tahun 1997, jalur ini telah dilengkapi dengan pal hekto meter (HM), papan petunjuk dan shelter. Setelah HM 15, pada jalur ini terdapat dua alternalif jalan yaitu yang langsung ke kampung Citalahab Sentral dimana terdapat wisma tamu dan home stay yang dikelola masyarakat lokal atau yang berputar ke perkebunan teh Nirmala blok Citalahab Bedeng sekitar 3,8 km. Sepanjang jalur ini dapat menikmati berbagai flora fauna menarik yang akan memberi pengalaman baru bagi pengunjung berjalan di dalam hutan tropis.


Jembatan Tajuk (Canopy Trail)


Jembatan gantung yang menghubungkan antara pepohonan sepanjang 100 m, lebar 0,6 m dengan ketinggian 20–25 m dari atas tanah dilengkapi dengan tangga naik. Jembatan ini terletak sekitar 200 m dari Stasiun Penelitian Cikaniki.

Sumber Air Panas


Di TNGHS terdapat beberapa sumber air panas yang masih alami seperti di Cisukarame dan di Gunung Menir, maupun yang sudah dibuka sebagai tempat rekreasi, seperti di Gunung Salak Endah, Cisolok dan Cipanas.



Perkebunan
Perkebunan di sekitar TNGHS termasuk pemandangan alam yang menarik dan banyak dijumpai dalam perjalanan menuju kawasan TNGHS. Umumnya di wilayah kabupaten Sukabumi dan
Bogor terdapat beberapa perkebunan teh yaitu perkebunan teh Jayanegara, Cianten, Pasir Madang dan Parakansalak. Bahkan jauh sebelum TNGHS ditetapkan, di tengah taman nasional juga terdapat enclave perkebunan teh Nirmala yang luasnya sekitar 997 ha. Selain perkebunan teh saat ini disekitar TNGHS juga terdapat perkebunan kelapa sawit, seperti di Kelapa Nunggal, Cikidang, Cisolok dan juga sepanjang jalan dari Cigudeg di kabupaten Bogor menuju kota Rangkasbitung, kabupaten Lebak.
Arung Jeram dan Pantai Selatan



Perjalanan dari Sukabumi atau Cibadak menuju Pelabuhanratu dan terus ke Bayah selain menyusuri bagian tenggara atau selatan TNGHS juga akan melintasi jalur wisata arung jeram (sungai Citarik dan sungai Citatih) serta pantai selatan yang indah seperti pantai Karang Hawu, Karang Taraje dan Sawarna.

Seren Taun


Masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul yang tinggal di sekitar TNGHS sampai saat ini masih mempunyai karakteristik budaya yang khas. Dimana setiap tahun setelah panen padi mereka mengadakan kegiatan adat yang disebut seren taun sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan dalam pertanian khususnya padi yang merupakan makanan pokok masyarakat.
Kegiatan seren taun selain untuk warga kasepuhan juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum lainnya termasuk untuk kunjungan wisata budaya karena banyak kegiatan menarik yang dapat dilihat. Jadwal pelaksanaannya antara bulan Juni - Desember setiap tahun, tergantung perhitungan waktu masing-masing kelompok kasepuhan. Beberapa seren taun yang menarik untuk dikunjungi dan dilihat adalah seren taun di kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Ciptamulya, Cicarucub, Cisitu, Cisungsang, Citorek dan
Urug.



Kuburan Keramat dan situs-situs masa lampau


Selain situs Candi Cibedug dan Gunung Batu di TNGHS juga terdapat beberapa kuburan keramat dan situs-situs lainnya yang belum terungkap, bahkan ada yang berbentuk “batu berundak” seperti peninggalan masa-masa kerajaan dahulu. Walaupun terdapat di lokasi yang cukup sulit, sering orang berkunjung untuk berziarah seperti ke kuburan keramat di puncak Gunung Salak 1 dan ke lereng puncak Halimun Selatan.
Beberapa lokasi situs lainnya seperti situs Genterbumi di kampung Pangguyangan, situs Ciawitali di Gunung Bodas dan situs Ciarca di kecamatan Cikakak, situs Girijaya di kecamatan Cidahu, Sukabumi, situs Cibalay di kecamatan Tenjolaya, situs Batu Kipas, Lewijamang di kecamatan Sukajaya, Bogor dan situs Gunung Bedil di kecamatan Cibeber, Lebak.
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak


Masyarakat Lokal


Jumlah penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan bukan kasepuhan. Untuk masyarakat kasepuhan, secara historis penyebaranya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan masih memiliki susunan organisasi secara adat yang terpisah dari struktur organisasi pemerintahan.



Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama (sunda wiwitan). Masyarakat kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.



Untuk mencapai desa-desa tersebut dengan kendaraan umum, baik dari Jakarta atau Bogor, dibutuhkan waktu empat hingga delapan jam. Kadangkadang kita harus berjalan kaki satu atau dua jam karena kondisi jalan masih berbatu kasar.
Semangat bergotong royong masih sangat kuat di beberapa wilayah termasuk pada sistem bertani mereka. Sudah biasa masyarakat bekerjasama dalam keluarga dan tetangga apabila tenaga kerja, komoditas / bahan-bahan pertanian dan makanan tidak mencukupi.



Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren taun.



Pengetahuan dan penggunaan jenis-jenis padi lokal menunjukkan pentingnya beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut: Setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa tahun. Di dataran tinggi padi ditanam sebagaimana halnya sayur-sayuran seperti : jagung, singkong ataupun kacangkacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Setelah panen, tergantung pada kondisi tanah, masyarakat memutuskan apakan berladang lagi atau tidak. Keputusan mereka berdasarkan pada kondisi kandungan air dalam lahan tersebut yang tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Dengan demikian ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah digarap terus menerus. Dan apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diubah menjadi jami (tanaman sekunder) untuk satu atau dua tahun. Di lahan ini padi tidak ditanam sama sekali, melainkan tanaman menahun (tanaman tahunan) yang ditanam. Setelah lahan digunakan ‘jami’, ada dua alternatif yang akan dipakai, pertama adalah meninggalkan lahan tanpa dipotong atau dibersihkan. Semak dibiarkan selama 3 - 4 tahun yang disebut ‘reuma ngora’ (semak belukar). Sedangkan semak yang dibiarkan selama lebih dari 4 tahun disebut ‘reuma kolot’ (hutan sekunder).



Pembagian ini berdasarkan pada tahapan suksesi tumbuhan. Setelah itu, lahan tertutup secara alami menjadi hutan sekunder dengan pepohonan tinggi. Jadi siklus penggunaan hutan pun telah berakhir. Cara atau alternatif yang kedua adalah menggunakan lahan untuk kebun, yaitu setelah jami dipanen. Di kebun ini tanaman menahun ditanam untuk kebutuhan sehari-hari. Buah-buahan seperti pisang, durian, anakan pohon alami dan pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat yang digunakan untuk konstruksi rumah serta tanaman berguna seperti bambu dan rotan juga ditanam untuk kebutuhan sehari-hari.



Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohonpohon yang ditanam menjadi tinggi dan kebun ini disebut juga kebun talun. Pada lapisan bawah dari kebun talun, terus ditanami tanaman menahun. Dengan adanya suksesi pohon-pohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut talun. Pada tahap ini hanya ada beberapa tanaman menahun, karena di bagian bawah menjadi gelap. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang dan durian, juga menyadap air nira dari pohon kawung (aren). Pengambilan air nira ini tidak hanya untuk dikonsumsi saja tetapi juga untuk dijual ke pasar.



Masyarakat kasepuhan menggunakan dan melindungi hutan berdasarkan konsep turun-temurun seperti adanya ‘leuweung titipan’ (hutan titipan), ‘leuweung tutupan’ (hutan tutupan) dan ‘leuweung sampalan’ (hutan bukaan). Mereka masih memiliki interaksi yang kuat dengan hutan sekitarnya. Mereka juga mempunyai pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Mereka mengetahui lebih dari 400 jenis dan menggolongkannya berdasarkan penggunaannya seperti bahan bangunan, kayu bakar, bahan dan alat pertanian, obat-obatan, makanan, upacara adat dan lain-lain. Sejak dari dahulu hingga sekarang, pengetahuan tersebut sudah diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini jelas sekali bahwa masyarakat lokal masih mengandalkan pada tumbuhtumbuhan dari hutan. Dilemanya, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di sekitar TNGHS baik yang masyarakat lokal maupun masyarakat pendatang, saat ini penggunaan tumbuhtumbuhan dan satwa dari hutan sudah tidak sesuai dengan kondisi umum sumber daya hutan yang semakin terbatas, karena dapat mengancam keutuhan hutan dan sumber daya air masyarakat.



Untuk itu ditetapkannya pengelolaan taman nasional agar dapat mengakomodir antara kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan TNGHS dengan menetapkan adanya pembagian zonasi. Di dalam taman nasional dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona khusus, sedangkan di luar taman nasional biasa ditetapkan sebagai zona penyangga. Dengan adanya zonasi dapat memberi kepastian bagi masyarakat untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di zona pemanfaatan, zona khusus dan zona penyangga. Seperti pengembangan kampung-kampung yang berorientasi konservasi dengan mengadakan berbagai aktivitas konservasi seperti penanaman pohon-pohon asli yang bermanfaat, energi alternatif, ekowisata dan program ekonomi berkelanjutan.
Secara jangka pendek aktivitas di atas dapat membantu masyarakat untuk menjalakan kehidupannya tanpa menyebabkan kerusakan hutan. Sedangkan dalam jangka panjang, kegiatan pendidikan lingkungan dan peningkatan kesadaran konservasi untuk masyarakat akan dapat menumbuhkan rasa menghargai terhadap kekayaan hutan sekitar mereka dan juga akan efektif bagi konservasi keanekaragaman hayati TNGHS di masa mendatang(rstmopm)